Media Sosial Tak Sekadar Medan Perang

614

Oleh: Yons Achmad (Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)

“Media sosial itu medan perang Bung, kau bakal terlibat pertempuran di sana,” kata kawan, seorang pemimpin redaksi sebuah media online. Saya sependapat dengan pernyataan demikian. Tapi, saya juga punya pemikiran lain. Media sosial barangkali memang medan perang, tapi tak sekadar itu.

Bagi mereka penganut komunikasi profetik, kehadiran media sosial memang bisa berfungsi semacam itu, sebagai medan perang. Selaras pengertiannya bahwa komunikasi profetik adalah komunikasi berbasis kenabian (nabawiyah) dengan Al-Quran sebagai inspirasi utamanya. Di dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 110 disebutkan bahwa, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah…”

Kehadiran media sosial juga bisa dijalankan semacam itu. Menjadi medan pertempuran dalam mengkampanyekan beragam kebaikan, mencegah beragam upaya perusakan baik politik, sosial, budaya maupun ilmu pengetahuan serta mendorong netizen (warganet) untuk punya orientasi ketuhanan dalam segala tindak tanduknya agar tidak liar dalam bermedia. Itu adalah proyek keumatan yang tak boleh dilupakan.

BACA JUGA: Etika Seorang Youtuber

Hanya saya kira, kita juga perlu melongok media sosial secara filosofis. Bagaimana kita memandang dan memperlakukan media sosial untuk kebaikan diri. Sebagai medan perenungan di tengah arus informasi yang begitu riuh ini. Agar kita juga punya otensitas (keaslian) diri sehingga kita tahu siapa diri kita, potensi terbaik, sekaligus andalan kontribusi (amal) nya.

Dalam bermedia sosial, modal pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan diri. Kalau modal utamanya adalah kebencian dan semangat menjatuhkan orang atau kelompok tertentu, maka hasilnya bisa kita lihat seperti sekarang ini. Media sosial sekadar menjadi media “adu jotos” tanpa basis argumen, fakta atau khazanah pemikiran intelektual yang cukup. Ini mengerikan.

Itu sebabnya, kita perlu berhenti sejenak. Melongok ke dalam diri, setidaknya merawat akal dan hati agar tiap hari bahagia, terutama ketika bermedia sosial, agar lanskap media sosial kita lebih bermutu, intelek dan beradab.

Filsuf Kierkegaard pernah menulis tentang “The Unhappiest Man”, dimana dia mengidentifikasi manusia tidak bahagia sebagai orang yang selalu absen untuk dirinya sendiri, tidak pernah hadir untuk dirinya sendiri di masa sekarang. Dia terombang-ambing pada kenangan silam dan bayangan indah masa depan, hasilnya, menghalangi partisipasi aktif di masa sekarang.

Maka, kita perlu mengamini penerimaan diri. Merawat kebahagiaan diri di tengah ketidakberesan lingkungan terdekat maupun lingkungan media sosial. Mengenali diri terutama potensi yang bisa diandalkan sebagai kontribusi (amal). Dengan begitu ia secara sadar bisa membangun dunianya sendiri tanpa melupakan konteks mewujudkan dunia global yang lebih baik.

Dalam kesempatan ini, mengikuti logika media sosial sebagai medan perang, saya kira kita memang perlu terlibat. Sebagai upaya transformasi mewujudkan dunia yang lebih baik. Tapi, kita juga perlu melongok ke dalam diri. Agar bisa menggunakan media sosial dengan aura kebahagiaan, bukan kebencian. Sehingga, wajah media sosial kita semakin sejuk, intelek dan beradab. Demikian. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here