Manisnya Isi Surat Cinta Soekarno, Sjahrir, dan Bung Tomo

2611

Renungan

Berbeda dari Bung Tomo, surat cinta Sutan Sjahrir lebih berisi pemikiran-pemikirannya. Sejak ditahan di penjara Cipinang Jakarta, Bung Kecil –julukan Sjahrir– mulai menulis surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau, yang dipisahkan darinya pada 14 Mei 1932.

Dikutip dari Historia, Sjahrir semakin getol menulis surat ketika diasingkan di Boven Digoel. Ketika Perang Dunia II pecah, Belanda diduduki Nazi Jerman, korespondensi Sjahrir dan Maria terputus. Dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman.

Sempat terpikir untuk membakarnya, Maria dibantu suaminya yang juga adik Sjahrir, Sutan Sjahsyam, menyunting surat-surat Sjahrir dan membukukannya, Indonesische Overpeinzingen, diterbitkan di Amsterdam pada 1945 di bawah nama samaran Sjahrazad.

“Bagian-bagian yang bersifat pribadi disisihkan dan keseluruhannya disusun seperti sebuah catatan harian,” demikian tertulis dalam Mengenang Sjahrir karya Rosihan Anwar.

Buku itu kemudian diterjemahkan HB Jassin dengan judul Renungan dan Perjuangan. Sementara dalam bahasa Inggris, Out of Exile, diterjemahkan Charles Wolf yang pernah jadi konsul muda Dinas Luar Negeri AS di Jakarta.

Tak seperti aslinya, ada tambahan tulisan Sjahrir atas permintaan Wolf yang berisi pengalamannya setelah dibebaskan dari Banda Neira.

Sesuai judulnya, buku itu berisi renungan dan pemikiran Sjahrir dari kecamuk perang hingga pergerakan, dari keindahan alam hingga pergumulan Timur dan Barat.

Misalnya, dalam surat tertanggal 25 Maret 1937, dia menulis renungannya soal perang saudara di Spanyol dan krisis dunia.

“Adalah berhubungan dengan situasi dunia ini juga, maka aku di masa belakangan ini sekali lagi merenungkan masa depan pergerakan kebangsaan kita….suatu hal yang gila kalau kita berpikir dan berbuat seolah-olah sama sekali tidak ada yang berubah, selama kita tetap menjadi jajahan Belanda.”

“Meskipun surat itu penuh dengan hal-hal yang bijak, surat itu juga merupakan sebuah kesaksian yang menyentuh hati tentang kebersamaan mereka yang hanya sesaat dan nasib perkawinan mereka yang malang,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas.

Pramoedya Ananta Toer, yang membaca surat-surat itu ketika ditahan di penjara Cipinang, tempat Sjahrir pernah ditahan dan menulis surat untuk istrinya, menilainya dengan sinis. “Dia,” tulis Pramoedya sebagaimana dikutip Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land, “begitu rindu, rindu kembali ke Belanda.”

Namun, tak sedikit yang menilai arti penting surat-surat Sjahrir. “Surat-surat Sjahrir kepada Maria jelas sumber sejarah yang penting,” ujar sejarawan Peter Kasenda.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here