Manajemen Pangan Rasulullah, Cara Terbaik Mengontrol Spekulan dan Mafia Pangan

830

 Oleh: Prof. Dr. U. Maman Kh., S.S., M. Si (Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian, Program Magister Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Rasulullah SAW sebagai kepala negara tidak hanya mengalokasikan lahan sebagai pusat produksi pangan, dan bertanggung jawab menghasilkan pangan pokok yang mencukupi kebutuhan penduduk, melainkan beliau mengontrol rantai pasok dan distribusi pangan tersebut agar sampai kepada penduduk yang membutuhkannya.

Dengan memanfaatkan lahan milik negara (tanah fai) di kawasan Khaibar dan bekerja sama dengan Yahudi dengan skim al-musaqoh, Nabi Muhammad SAW memperoleh kurma, kacang-kacangan, gandum, dan sereal sebagai bagian dari kerjasama bagi hasil dengan Yahudi. Hanya saja, belum terdapat sumber yang menyebutkan jumlah tonase produk pangan yang dihasilkan dari Khaibar.

Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam sebagai salah satu sumber legal bagi tindakan Muhammad SAW yang mengandung proses pembentukan hukum (tasyri) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membagikan produk pangan dari Khaibar kepada penduduk yang membutuhkannya.

Cerita yang sampai pada kita melalui sirah Nabawiyyah tersebut (Al-Muafiri, 2003) menyebutkan bahwa Rasulullah membagikan produk Khaibar kepada kaum muslimin yang berpartisipasi dalam Perjanjian Khudaibiyyah, bagi mereka yang ikut serta dalam Perang Khaibar, dan bagi kaum muslimin yang membutuhkan.

Diceritakan, keluarga Usamah bin Zaid memperoleh 200 wasaqs; Aqil bin Abu Thalib memperoleh 140 wasaqs; putera-putera Jakfar mendapat bagian 50 wasaqs; Rabiah bin Al-Harits memperoleh 100 wasaqs; As-Shalt bin Markhamah dan dua puteranya mendapatkan 100 wasaqs; Qais bin Markhamah memperoleh 30 wasaqs; Abu Al-Qasim bin Markhamah mendapat 40 wasaqs; dan individu-individu lain memperoleh bagiannya masing-masing.

Pengawasan Nabi Muhammad terhadap distribusi dan alokasi pangan tidak hanya sampai pada tindakan di atas. Dalam keadaan sakit – yang membawanya meninggal dunia – Nabi Muhammad SAW berwasiat agar kelompok Rahawiyyīn, Al-Dāriyyīn, Al-Shubaiyyīn, dan Al-Ashariyyīn, masing-masing dari mereka agar memperoleh 100 wasaqs dari gandum Khaibar.

Umar bin Khaththab mengakui dan memperhatikan wasiat ini, dan sebagai kepala negara Umar melaksanakannya (Al-Muafiri, 2003). Perlu diketahui bahwa “wasaq” merupakan ukuran berat yang populer bagi masyarakat Arab tradisional, terutama sangat popular dalam pembahasan fiqh, di mana setiap satu “wasaq” sama dengan 130,56 kg.

Tidak Berlaku Bagi Pangan dari Aset Individual

Pengawasan ketat terhadap distribusi pangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW hanya dilakukan terhadap produk pangan yang dihasilkan dari lahan milik negara, dan yang dikelola langsung oleh negara. Untuk pangan yang dihasilkan dari lahan milik individu, dan oleh individu, tidak dikabarkan adanya pengawasan sangat ketat terhadap distribusi pangan.

Bagi individu penghasil pangan, hanya ada kewajiban membayar zakat;  dan jika individu menggarap lahan milik negara untuk kegiatan pertanian – bukan dalam skema al-musaqoh – maka individu tersebut berkewajiban membayar kharraj, yakni bagian dari produk pertanian yang dihasilkan dari tanah kharajjiah (tanah milik negara). Jumlah kharaj yang harus dibayarkan petani kepada negara, tergantung pada kebijakan pemerintah (Mahmud, 2000).

Tanah kharrajiah ialah tanah yang berada di suatu wilayah, di mana tanah tersebut ditaklukkan dengan cara peperangan, maka tanah tersebut masuk kategori tanah kharrajiah, sekalipun secara faktual tanah tersebut dikuasi oleh individu penduduk negeri tersebut (Mahmud, 2000).

Hal ini, tentu saja, berbeda dengan tanah fai, yakni tanah yang langsung ditinggalkan oleh pemiliknya dalam suatu peperangan, seperti tanah Khaibar. Tanah ini merupakan rampasan perang yang langsung menjadi tanah milik negara.

Dari gambaran ini semakin jelas bahwa dalam sistem Islam berlaku “dual system” (sistem ganda). Pengadaan pangan bisa dilakukan oleh individu, dan juga oleh negara. Jika individu yang memproduksi pangan pokok, maka negara tidak ikut campur mengatur distribusi dan pengawasan pangan tersebut.

Ini sepenuhnya menjadi hak individu, di mana ia dapat menjualnya sesuai mekanisme pasar. Dalam hal ini berlaku hukum permintaan dan penawaran. Islam hanya melarang melakukan kecurangan dalam takaran atau timbangan, larangan menumpuk (ihtikar) untuk mendistori pasar, dan larangan melakukan berbagai bentuk penipuan yang dapat merugikan konsumen (Abdillah, 1990).

Namun demikian, untuk pangan yang dihasilkan dari lahan milik negara – atau pangan yang diproduksi oleh negara – maka negara harus melakukan distribusi pangan secara langsung, juga melakukan pengawasan terhadap rantai pasok pangan tersebut.

Sistem ganda ini akan mendorong keseimbangan harga pangan di pasar. Harga tidak akan melompat tinggi karena terdapat pangan yang dihasilkan oleh negara, dilakukan distribusi oleh negara, dan negara pun melakukan pengawasannya dengan ketat. Para spekulan dan mafia yang cenderung mempermainkan harga dan mencari keuntungan dari rantai pasok pangan, dengan sendirinya tereliminasi.

Dalam konteks kehidupan modern, berarti negara harus membentuk lembaga – semisal badan usaha milik negara – yang bertugas memproduksi pangan dari lahan milik negara, melakukan kerjasama dengan petani untuk meproduksi pangan, melakukan distribusi, dan melakukan pengawasan terhadap rantai pasok pangan tersebut.

Di sisi lain, pemerintah memberikan kebebasan kepada individu pemilik lahan untuk menggunakan lahan tersebut sesuai minat petani, baik untuk bertani atau untuk penggunaan lain. Produk pangan yang dihasilkan oleh individu, distribusinya diserahkan pada mekanisme pasar. ***

Rujukan

Abdillah, Muḥammad Husein. Al-Dirāsah Fī Al-Fikr Al-Islāmī. Beirut: Dār al-Bayāriq, 1990.

Al-Baghdady, Abdurrahman. Hukmul Islam Fi Ijaratil Ardh Liz Ziro’ah, Hukmul Islam Fi Malil Ghulul Minal Hukkam wa Muwazh-Zhifid Daulah, Ma’ayirul Athwal Wal Misahat Wal Akyal Wal Awzan Asy-Syariyyah,  Indonesian, Bandung: Al-Maarif, 1987.

Al-Muafiri, Abu Muhammad Abu Al-Malik bin Hisyam, 2003. Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam, Edisi Bahasa Indonesia, terjemahan Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah

Maḥmūd, Ḥusein Ḥamīd. Al-Niẓām Al-Māl Wa Al-Iqtiṣādī Fī Al-Islām. Riyadh: Dār al-Nasyrī al-Daulī, 2000.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here