Malaikat Perempuan

2688

Sebenarnya Aku ini lelaki atau bukan Ti? Ketika air mata suatu detik terpaksa menitik saat aku sampai di sudut ruangan yang aku sendiri tidak tahu di mana. Atau kejadian ini hanya satu bentuk yang memang harus terjadi dan manusiawi. Tapi aku tahu kau tidak suka melihat lelaki cengeng. Kau tidak suka dengan lelaki yang lemah, manja atau sebagainya. Segera kuhapus gerimis yang menetes sekali itu.

Tidak! Aku tidak menangis. Aku mungkin bahagia…

Akh, asu! Aku tak bahagia Ti. Kau yang bahagia. Bahagia bisa meninggalkanku sediri dalam kesepian. Bahagia bersanding dengan lelaki pilihanmu. Aku mengutuki tetes ari mata tadi. Jika aku bisa, akan aku masukan lagi air mata itu. Dan aku tak menagis Ti.

Aku akan membuat perhitungan padamu Ti, juga pada Sukatib. Tapi aku ingin membuat perhitungan padamu terlebih dulu.

Aku tidak memperdulikan omongan Ibu yang mengatakan agar aku bisa sabar dan menerima kenyataan. “Anggap dia adikmu saja. Lupakan Tini.” Begitu nasehat Ibu ketika entah sudah berapa hari aku ada di dalam kamar tak mau keluar. Pasca perkawinanmu, duniaku begitu lain, duniaku menjadi asing. Aku juga tidak mengenali siapa diriku. Tapi aku masih waras jika membahasmu, Ti. Masih  kuhapal dan kuingat jelas tentang senyummu yang serasa seperti mangga masak di pohonnya.

Nasehat Ibu seperti nasehat suratmu yang kuterima lewat Aat. Nasehat yang singkat disertai permohonan maaf. Tapi rupanya surat itu lebih mirip sebuah puisi yang kau berikan padaku.

Jaka, aku ingin kita menjadi kita, seperti yang dulu. Kau menjadi Jaka dan aku mejadi Tini. Meski aku telah menjadi lain dan pasti berubah. Terimalah dia (Sukatib) sebagai suamiku, yang akan menjagaku. Terima dia Jaka. Dan maafkan bila aku, untuk sementara ini ingin melupakan masa lalu kita. Melupakan masa lalu yang tak indah, tentunya. Masa yang indah, kelak akan aku ceritakan pada anak-anakku nanti. Kau pun harusnya begitu. Bisa meluapakan masa lalu, bair jalan hidup bisa terlihat jelas dan waras. Dan kau harus tegar! Aku ingin kita menjadi kita.

 Tini.

***

Ibu menampar mukaku cukup keras, ketika aku menjerit sekuatnya. AGGGGHHHHHHHH….!!! aku tak kuasa mengontrol diri. Aat yang belum juga beranjak dari kamar ini menenagkan Ibu.

Aku seperti merasakan ketakutan sebab dikejar malaikat Maut dengan matanya yang terang terus memangsaku. Tapi tangan Aat lembut menyentuh pundakku, seperti sedang membuka pintu dan menyalakan dunia yang gelap di hatiku. Pelan dia bisa menenangkanku.

Aku, entah bagaimana, tiba-tiba manut saja. Membuat dingin semua badan dan hati. Apa yang terjadi? Mengapa semua terang begini? Mataku seperti pecah menantang cahaya dari sekujur tubuh Aat yang bersinar. Kemudian baru aku mengerti, Aat sejak tadi menjelma malaikat dari bangsa perempuan. Dia mengajakku terbang ke langit jauh, sambil aku terus dibisikinya cerita-cerita. Aku tak kuasa menolak ikut. (*)

(Selesai)


Ahmad Wayang, pegiat literasi, relawan Rumah Dunia dan anggota FLP Banten. Buku yang sudah terbit, Cinta Jangan Marah (2018), Siti dan Cerita Cinta Lainnya (2013).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here