Malaikat Perempuan

2686

Selanjutnya pemandangan itu makin menusuk batinku. Dengan senyum yang amat kurindukan, kau membiarkan tanganmu dibanduli cincin emas dari Sukatib, berfoto bersama, disusul acara Buka Pintu yang terdengar berisik di telingaku. Aku hanya bisa melihat semua itu dari belakang, melihatmu tersenyum dan tertawa kecil saat Sukatib menyuapimu dengan nasi kuning dan ayam bekakak.

Sekarang kau bersanding di pelaminan itu, Ti. Bedua dengan Sukatib. Ah, lelaki yang dipelaminan itu seharusnya aku.

Orang-orang sekarang memutarimu sambil memberikan uang entah receh atau ribuan dalam tempat yang sudah disediakan. Paculan, namanya, kata orang tua dulu, sebagai simbol pemberian bekal untuk perjanalan hidup barumu Ti.

Aku masih tidak akan terima Ti, kau bersanding dengan Sukatib. Aku akan cari tahu dan akan aku sadarkan kamu dari guna-guna Sukatib. Kau yang berambut gelombang, dan memiliki senyum yang lurus, serta kulit yang putih bersih. Sementara Sukatib yang jauh dari kata tampan, sepertinya jomplang disandingkan dengan wajahmu yang ayu itu.

Seperti si cantik dan si buruk rupa. Aku akan mencari tahu ini semua, meski kata orang, Sukatib jangan dilawan. Karena Dukuh Jeplak tempat tinggal Sukatib adalah kampung yang terkenal warganya memiliki ilmu santet dan pelet. Aku tidak takut Ti, demi menyadarkanmu.

Akhirnya aku pulang Ti, dengan segala macam perasaan aku bawa—tak bisa aku lukiskan—. Masa depan serasa suram bagiku. Aku tak punya pegangan lagi. Tubuhku lemas bukan karena belum makan, karena di tempurung otakku hanya ada kamu seorang Ti, dan si lelaki sialan itu.

Aku tidak menyangka secepat ini kau memutuskan untuk menikah. Atau kau dipaksa menikah dengan Sukatib?

Darahku serasa tak jalan. Jantung berdengup tak teratur. Untungnya kelebat senyummu yang manis itu sedikit mampu memberi semangat seperti nyala lilin di malam gelap di Kampung Kidul ini.

Rasanya aku ingin sendiri malam ini. Malam berikutnya dan juga malam-malam yang akan datang, tak banyak bintang. Aku masih ingat dengan jelas ketika kau dan aku menjadi sepasang kelas teladan. Atau ketika kau pertama kali ketakutan seperti melihat hantu, ketika tahu menstruasi dan kau bercerita padaku, tidak pada orang lain.

Atau saat kamu mendambakan boneka Si Lumba-lumba dan baru setahun kemudian aku bisa membelikannya sebgai kado ulangtahunmu yang ke 15, atau ketika saung di gubuk kebun singkong belakang rumah menjadi tempat favorit kita yang selalu menghabiskan waktu untuk bercengkrama hingga senja tiba. Ketika pohon Nangka tempat kesukaanmu bermain ayunan ditebang, dan kau sedih. Percayalah, aku akan selalu menyediakan dada ini untuk kau sandari. Aku akan menghiburmu, Ti.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here