Makan Paling Nikmat

1723

Makan yang Paling Enak

Perintah puasa untuk menahan lapar dan dahaga sejak sebelum fajar terbit hingga matahari terbenam bukan untuk menyiksa. Memang berat rasanya, apalagi cuaca yang panas terik dan kerja yang memeras keringat. Di balik setiap derita itu ada kenikmatan. “wa mâ ladz-dzâtu illa ba’da ta’abi” (tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan). Demikian mahfuzhat yang dipelajari anak saya di pesantren.

Kelak di Hari Akhir, orang-orang beriman dan beramal saleh selama hidupnya, akan dihidangkan makanan lezat, lalu Zat Yang Maha Agung berfirman: ”kulû wasyrabû hanî-an” (makan dan minumlah yang sedap). Paling tidak ungkapan ini dijumpai tiga kali makna yang hampir sama (QS. Ath-Thûr [52]: 19; QS. Al-Hâqah [69]: 24; QS. Al-Mursalât [77]: 43). Tentu saja sulit untuk membayangkannya, karena kehidupan yang nikmat kelak pun tak bisa dibayangkan. Lalu, kapankah makan yang sedap di dunia ini?

Setelah direnung, makan yang sedap itu ditentukan oleh dua hal, yakni bahan atau rasa makanannya dan situasi atau suasananya. Makanan enak itu relatif, sehingga enak bagi seseorang belum tentu enak bagi orang lain. Oleh karena itu, yang penting bukan jenis atau rasanya, tapi situasi atau suasananya.

Ada tiga suasana yang membuat makan menjadi sedap dan nikmat. Pertama, makan ketika lapar dan minum di saat dahaga. Jika ingin makan enak maka laparlah (bukan kelaparan karena kemiskinan). Jika ingin minum yang sedap maka hauslah. Allah Swt memberikan washilah (jalan) agar kita lapar dan haus yang bernilai ibadah, yakni puasa (wajib dan sunnah). Tak perlu makan obat untuk merangsang makan, tapi berpuasalah karena akan mendatangkan kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Jika hal ini dimengerti, maka kita akan senang datangnya Ramadhan. Makan dan minum setiap hari sudah biasa. Tapi di saat berbuka, nikmatnya luar biasa. Dianjurkan menyegerakan berbuka dengan buah kurma. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Kedua, makan bersama orang-orang lapar. Jika yang pertama bersifat individual, maka kenikmatannya pun personal. Tapi yang kedua ini bersifat sosial, sehingga kenikmatannya pun lebih tinggi. Nikmatnya kebersamaan penuh keakraban. Buka bersama keluarga, kaum kerabat dan jamaah yang sama-sama lapar, pasti makannya pun tambah nikmat. Ibadah puasa memberikan jalan untuk mendapatkan kenikmatan ini, bukan hanya berbuka sendiri tetapi bersama orang-orang yang berpuasa (ifthar jama’i). Keberkahan akan turun kepada orang yang makan berjamaah (HR. Muslim).

Ketiga, memberi makan orang-orang lapar. Inilah makan paling nikmat, bukan hanya nikmat secara personal dan sosial, tetapi juga spiritual (kepuasan batin). Bersedekah dan makan bersama dengan mereka yang lapar (puasa) adalah makan paling nikmat di dunia ini. Kegembiraan orang yang berpuasa itu ketika berbuka, baik sendiri maupun bersama-sama, apalagi bisa menghidangkan makanannya. Nikmatnya terasa di hati, karena rasa syukur ke hadirat Ilahi Rabbi. Kelak lebih gembira lagi di saat bertemu Sang Khaliq (HR. Muttafaq ‘Alaih). Orang yang menyajikan ta’jil (hidangan berbuka) akan mendapat ganjaran seperti pahala orang yang berpuasa (HR. Tirmidzi). Lalu Nabi Saw bersabda: ”Para malaikat pun akan selalu berdoa untuk mereka agar diberi kebaikan.” (HR. Abu Daud).

*****

Lapar dan dahaga saat puasa bagi kita yang mampu hanya sementara. Tetapi, mereka yang dhuafa seakan tak pernah lepas dari kekurangan makanan apalagi yang bergizi. Kekurangan mereka bukan hanya makanan semata, tetapi yang lebih krusial adalah miskin akidah, ilmu, dan akhlak. Salah satu jalan untuk mengangkat mereka dari lingkaran kemiskinan adalah pendidikan.

Pendidikan membutuhkan waktu, biaya dan proses panjang. Kita harus sadari bahwa zakat, puasa, sedekah, qiyamullail, berwakaf dan amal baik lainnya di bulan Ramadhan bagaikan latihan untuk diaktualisasikan setelahnya. Kegiatan buka bersama yatim dan dhuafa, berbagi bingkisan dan beasiswa untuk sambut hari raya Idul Fitri tak boleh berhenti. Jika kedermawanan sirna seiring perginya Ramadhan, lalu siapa yang akan membina dan menanggung pendidikan mereka? Latihan yang berhasil jika menang dalam pertarungan yang sesungguhnya. Satu bulan latihan untuk 11 bulan pengabdian.

Wallâhu a’lam bish Shawâb.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here