Liberalisme Islam Sudah Akut

469
Ilustrasi. (Foto: 4liberty)

Oleh: Drs. H. Tb. Syamsuri Halim, M. Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Liberalisasi sekarang ini sudah akut, semua lini dimasuki sehingga merusak pemikiran di setiap intansi, baik pemerintah dan swasta sudah di porak porandakan dengan sistem liberalisme.

Kini setelah 30 Tahun sejak dikampanyekan oleh Nurcholis Madjid sang tokoh liberalisme, arus besar itu semakin sulit untuk dikendalikan, dan berjalan semakin liar.

Penyebaran paham pluralisme agama, dekonstruksi agama, dekonstruksi kitab suci, dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam bahkan mulai merambah pesantren. Paham ini menusuk jantung dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Akar Liberalisme

Untuk menelurusi Islam Liberal, tidak bisa terlepas dari Sekularisasi Agama. Sekularisasi merupakan gagasan penting yang berasal dari kelompok Islam Liberal. Jika kita mencermati tulisan-tulisan mereka, kita akan mengetahui bahwa gagasan ini terus menerus diperjuangkan secara konsisten.

Tidak diragukan lagi bahwa sekularisasi adalah gagasan yang berasal dari warisan sejarah perkembangan peradaban Barat. Hal ini dapat ditelusuri mulai abad pertengahan Barat ketika peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian ilmiah.

Penyebabnya adalah Bible mengandung hal-hal yang bertentangan dengan akal. Harvey Cox (ahli teologi Kristen dari Harvard) membuka buku terkenalnya, The Secular City, dengan bab “The Biblical Source of Secularization”, yang diawali kutipan pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: “Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah”. Dan Nurcholis Madjid menerapkan dalam Islam dan ajarannya.

Harvey Cox mengatakan, sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama. Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain.

Jadi intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (liberal). Sekularisasi di bidang agama adalah penyingkiran nilai-nilai agama.

Penganut paham sekuler menyatakan kebenaran adalah relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak. Manusia sekuler percaya bahwa “wahyu langit” dapat dipahami karena hal itu terjadi dalam sejarah yang dibentuk oleh kondisi sosial politik tertentu.

Jadi sebenarnya, semua sistem nilai terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu tertentu. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan secara proaktif dalam proses evolusi (perubahan secara lambat).

Dengan konsep ini manusia sekuler dapat tidak mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang yang tetap (tsawabit) karena semua hal dianggap relatif. Sumber utama pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufastha’iyyah (kaum sophist) yang memasukan unsur-unsur Filosofis Yunani dalam ajaran Islam.

Dalam akidah Annasafi dinyatakan:

حقيقة الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا لسفسطائية

“Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum Sufastha’iyyah”.

Salah satu golongan Sufastha’iyyah itu adalah golongan ‘Indiyyah (subyektifisme) yang menganut paham bahwa tidak ada kebenaran obyektif dalam ilmu.

Semua ilmu adalah subyektif, dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Maka kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku di masyarakat dan bukan yang dikonsepi oleh Al-Quran.

Liberalisasi Islam

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa paham Islam liberal adalah paham yang membongkar kemapanan dalam ajaran Islam yang sudah baku. Istilah kerennya, mereka mencoba merombak kesakralan dari ajaran Islam itu, yang menurut Al-Quran bisa direvisi, sehingga setiap manusia mempunyai kewenangan dalam menilai baik dan buruk tanpa harus ada campur tangan siapapun. Paham ini sejalan dengan kaum Mu’tazilah.

Seorang tokoh liberal Indonesia pernah menyatakan secara tegas bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu’tazilah. Bahkan kalau kita melihat pemikiran-pemikirannya, mereka justru melebihi aliran Mu’tazilah, dimana mereka sudah jauh melampaui ayat-ayat Al-Quran dan hadits.

Isu-isu yang mereka lemparkan tidak hanya seputar, gender (peran wanita di ruang publik), pluralisme (kesetaraan semua agama), demokrasi, HAM, bahkan sudah berani menggugat ke-otentikan Al-Quran dengan dalih bisa disesuaikan.

Secara umum ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu; (1) Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran paham pluralisme agama; (2) Liberalisasi bidang syari’ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Quran.

Liberalisasi Akidah Islam

Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan penyebaran paham “pluralisme agama”. Paham ini pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama.

Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelatifannya, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa agamanya sendiri yang benar.

Di majalah Gatra edisi 21 Desember 2002. Tokoh JIL tersebut, “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar”. Hal itu ditanggapi seorang dosen Fakultas Syari’ah UIN Jakarta yang mengatakan, “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki”.

Dalam buku Teologi Inklusif, disebutkan: Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran Al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World View Al-Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri ke hadirat Tuhan. (QS 29:46).

Selanjutnya dikatakan: “Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur”. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut Kitab Suci, baik Yahudi maupun Kristen.

Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun di antara kita – baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi – yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat kebaikan maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69). Dengan kata lain sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama apapun “agama”-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan.

Sukidi, alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ciputat, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran.

Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada di mana-mana dan ditemukan pada semua agama.

Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama.

Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan”.

Pada kesempatan lain tokoh Liberal lainnya mengatakan: “Saya ini terlahir sebagai orang NU. Tetapi saya yakin seyakin-yakinnya bahwa keimanan saya seperti sekarang ini sudah tidak lagi memadai untuk dibungkus dalam sebuah label. Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh lagi, keimanan saya bisa berinteraksi dengan keimanan orang-orang dari agama lain; bahkan Islam pun sebagai sebuah ‘label sosiologi’ kerapkali tak memadai untuk menampung semangat lintas batas ini”.

Seorang guru besar dari sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, menulis: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama”.

Penting diketahui oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiyayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka yang bergerak menyebarkan paham Pluralisme Agama.

Ini bisa dilihat dalam artikel-ertikel yang diterbitkan oleh jurnal Tashwirul Afkar yang diterbitkan oleh Lakspedam PBNU bekerja sama dengan Ford Foundation, dan Jurnal Tanwir yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah bekerjasama dengan The Asia Foundation. Mereka tidak menyebarkan paham ini secara asongan tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menulis laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”.

Ditulis dalam Jurnal ini: “Filosofi pendidikian Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan”.

Pluralisme dan Pluralitas

Kemajemukan (pluralitas) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. Itu memang benar. Di dalamnya ada kaum pria dan wanita, tua dan muda, yang berkulit hitam dan putih, dengan beragam agama dan kepercayaan. Demikian seterusnya.

Akan tetapi, menarik garis lurus, bahwa kemajemukan itu identik dengan pluralisme, tentu merupakan kesalahan, kalau tidak mau dianggap penyesatan. Memang, pluralisme adalah paham yang berangkat dari konteks pluralitas. Akan tetapi, sebagai paham, pluralisme jelas berbeda dengan pluralitas (kemajemukan) itu sendiri.

Dalam konteks pluralitas (kemajemukan), Al-Quran bahkan telah menyatakannya dengan jelas, sebagai sebuah keniscayaan : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal,”(QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Pluralitas ini tidak hanya terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga non-fisik. Banyaknya pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi, misalnya, jelas merupakan kenyataan yang tidak dapat dilepaskan dari fenomena pluralitas di atas.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here