Kopi, Gajah, dan Potret Kecil Pendidikan Kita

730

Oleh: Imam Safe’i (Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam)

Beberapa waktu lalu, ketika berkunjung ke Provinsi Lampung, saya mendapat pengalaman dan pembelajaran yang menarik dan berkesan tentang gajah dan kopi. Ya, sejak dulu, Lampung memang dikenal sebagai daerah penghasil kopi. Maka wajar jika mudah dijumpai kedai-kedai kopi dengan pelbagai kekhasan dan variasi di daerah ini.

Ada yang menyajikan hidangan minuman kopi siap saji. Ada pula penjual paket lengkap biji kopi berikut roaster-nya atau aneka bubuk kopi yang siap disedu untuk dinikmati.

Sebagai penikmat kopi, saya tidak sia-siakan waktu luang untuk berkunjung ke salah satu kedai di provinsi ini. Ditemani sopir, saya terobos rintik gerimis, menyisir jalan mencari kedai asri yang menarik hati.

Mobil pun berhenti di sebuah kedai kopi, meski tidak megah dan mewah tetapi terkesan indah dan asri. Tampak banyak pelanggan yang telah datang lebih dulu, mengisi kursi-kursi kedai yang ditata rapih. Saya tentu tidak tahu motif setiap pelanggan datang ke kedai ini. Inilah misteri rezeki, meski tidak pernah direncanakan, tiba-tiba hati tergerak untuk berhenti mengunjungi. Tuhanlah yang mengatur dan menggerakkan hati dan kaki di mana ia harus berhenti dan kemudian bertransaksi sebagai awal rezekinya pemilik kedai kopi. Ini makin memberikan keyakinan kepada kita bahwa rezeki tidak pernah tertukar dan salah menghampiri.

Meski sama-sama kedai kopi, selalu saja ada yang beda antara satu dengan lainnya. Beda tentang apa yang ditawarkan, gaya yang menawarkan, penyajian, hingga beda gaya pelanggannya.

Belum lama duduk menikmati kopi, sudah terdengar aneka pelanggan yang memesan. Ada yang pesan kopi tanpa gula, ada yang minta manis, ada yang minta jenis gula tertentu, ada yang minta encer dan ada pula yang minta kental. Sungguh penikmat kopi juga memiliki selera yang beragam.

Ada juga tamu yang pesan kopi pahit dan kental, hingga mengundang tanya penjual, “Kenapa ingin kental dan  tidak mau manis?” Kata pelanggan, “Kita minum kopi bukan untuk mengenakkan mulut, tetapi untuk menyehatkan perut”.

Kondisi di kedai kopi sebenarnya juga mirip dengan situasi di ruang kelas atau ruang kuliah. Penjual harus sigap melayani keragaman pesanan pelanggan. Ini seperti guru atau dosen yang juga harus menghadapi peserta didik dengan keragaman kebutuhan, keunikan, dan kecerdasannya masing-masing.

Bedanya, kalau di kedai kopi, sajian berdasarkan pesanan pelanggan, di kelas, murid atau mahasiswa tidak pernah ditanya tentang kebutuhan dan minat yang ingin dikembangkan. Apa yang diberikan kepada mereka, tergantung materi yang disiapkan guru dan dosen dalam Rancangan Pembelajaran dan Pendidikan (RPP).

Kondisi ini yang sering dikritik pemerhati pendidikan dengan meminjam slogan teh botol, ‘Apapun makanannya, Teh botol minumannya’. Apapun keragaman peserta didik, semuanya diberikan materi yang sama. Di sinilah pentingnya pendidik memahami keragaman kecerdasan dan potensi peserta didik (Multiple Intelligence). Di kelas, guru dan dosen bukan hanya memberikan informasi pelajaran/kuliah, tetapi yang lebih penting adalah mengembangkan potensi atau kecerdasan peserta didik.

Habis secangkir kopi dan beberapa pisang goreng, saya bersiap beranjak meninggalkan kedai. Tak terasa, waktu berjalan sudah lebih satu jam. Saatnya pamitan, hingga tetiba penjual kopi bertanya: “Mumpung di Lampung, kenapa Bapak nggak sekaligus jalan-jalan di Way Gambas Lampung Timur?”

“Ada apa yang menarik di sana?,” saya balik bertanya. “Ketika PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) semua ditutup, dilebur menjadi MA (Madrasah Aliyah) dan SMA (Sekolah Menengah Atas), di sana sampai hari ini masih ada SPG,”  tukang kopi menimpali.

Saya penasaran dan coba mengklarifikasi, “Masa sekarang masih ada SPG mas?”

“Betul pak, tapi SPGnya bukan Sekolah Pendidikan Guru, tetapi Sekolah Pendidikan Gajah,” jawabnya tersipu.

Oalaaah mas mas, saya kira serius. Saya tadi penasaran dan berfikir, di tengah-tengah negara sedang serius menyiapkan guru profesional melalui PPG ternyata masih ada SPG yang dulu diidolakan oleh para calon guru,” saya menimpali serius.

Ngetest, jangan-jangan penjual kopi ini adalah guru juga yang merasa kesal karena ikut PPG beberapa kali tidak lulus UP nya, saya bertanya: “Memang ada hubungannya Mas, antara Sekolah Pendidikan Gajah dengan  lembaga pendikan, khususnya LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan)?”.

“Ada dong pak. Bapak lihat saja, gajah dulu yang liar, ganas, tidak sopan, setelah disiapkan kurikulum yang bagus, diajar oleh para instruktur profesional yang ikhlas, gajah-gajah itu kini menjadi gajah yang baik, santun, tidak brutal dan menjadi bersahabat dengan kita,” jawabnya.

“Jika gajah saja bisa berubah, tentu juga para siswa dan mahasiswa. Potret pendidikan yang mereka terima, akan berpengaruh pada sejauhmana perkembangan potensi mereka,” lanjutnya.

Kagum dengar jawaban penjual kopi, saya bergumam, “Alhamdulillah, ternyata pembelajaran dan mutiara hikmah bisa kita dapatkan di mana-mana. Tidak terkecuali di kedai kopi. Diamonds are forever and anywhere.” Semoga bermanfaat.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here