Konsumsi Halal Membentuk Generasi Andal

1212

Kisah Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit

Dalam kisah para salafush-sholih yang lain, seorang lelaki shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba ia melihat sebuah apel jatuh di jalan, di luar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah, membuat air liur Tsabit keluar, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya dimakan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin dari pemiliknya.

Maka ia segera pergi ke dalam kebun apel itu hendak menemui pemiliknya, agar meminta dihalalkan buah yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya.” Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadam yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya.”

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Lantas, di manakah rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah ku makan ini.” Tukang kebun itu memberitahukan, “Bila engkau ingin pergi kesana maka harus menempuh perjalanan sehari semalam.”

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”

Menempuh perjalanan sangat jauh, Tsabit tiba di rumah pemilik kebun apel tersebut. Ia pun memberi salam dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh di jalanan, di luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah terlanjur aku makan itu?”

Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat, lalu berkata dengan tegas, “Tidak, aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak dapat memenuhinya.

Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus menikahi putriku !” Tsabit tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus menikahi putrimu?” Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaannya. Ia malah menambahkan, “Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus tahu dulu kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting menjadi isteri, hanya gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak akan menghalalkan apa yang telah kau makan!” Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan menikahinya.

Aku telah bertekad mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin, konsisten dengan hidup halal. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada-Nya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah.”

Maka pernikahan pun dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama. Sesudah prosesi pernikahan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah di dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu. Iapun mengucapkan salam, “Assalamu”alaikum…” Tak disangka sama sekali, wanita yang kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik.

Ketika Tsabit masuk menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut, karena isterinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. Ia pun berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan info yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya?

Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.

Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa Engkau tuli, mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, kerana Aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa Aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tanya wanita itu kepada Tsabit yang telah sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya.

Selanjutnya wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal, aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dapat menimbulkan kemarahan Allah.”

Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya begitu baik. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya.

Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap.” Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Dan mereka dikurniakan seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, terkenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here