Kisah Seteru Satu Guru

1176

Peresensi: Yons Achmad

Satu guru, saling berbeda pandangan lalu saling hantam. Inilah pelajaran sejarah yang tak elok kalau sampai terulang kembali. Alkisah tahun 1900-an, di Jalan Peneleh Gang VII Surabaya.

Berdiri rumah yang dihuni oleh sejumlah anak muda pembentuk sejarah bangsa ini. Sebuah rumah yang menjadi saksi bagaimana HOS. Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarekat Islam (SI) menggembleng anak-anak kosnya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda.

Para pemuda itu, diantaranya Soekarno, Musso dan Kartosoewirjo. Para penggerak awal republik. Dari Tjokroaminoto, ketiganya belajar tentang kemerdekaan, kebebasan dan ideologi berbangsa. Ketiganya bersahabat dan saling mendukung. Namun, sejarah berkata lain.

Ketiga murid kesayangan Tjokroaminoto itu harus berpisah jalan. Mereka menempuh jalan sesuai kata hati masing-masing. Sebuah persimpangan yang akhirnya membawa mereka dalam sebuah pertempuran berdarah. Perselisihan paham yang membuat sahabat harus saling tumpas.

Para pemuda itu sejak awal memang terpukau pada sosok Tjokro sebagai Ketua Sarekat Islam, tokoh ideologis yang punya kharisma saat itu.

BACA JUGA: Anies Baswedan, Tumbang atau Terbang di Pilpres 2024?

Suatu ketika Sang Harimau Mimbar berpidato lantang, “Tidaklah wajar menyaksikan negeri ini menjadi sapi perahan. Diberi makan hanya untuk diambil susunya! Bangsa-bangsa asing hilir mudik datang mengangkut hasil bumi kita. Sementara, kita tidak diperbolehkan memperbaiki nasib sendiri. Ini sebuah kekeliruan yang harus kita luruskan!” (Hal-64).

Itulah salah satu performa Tjokro yang memikat banyak orang, membuat takjub dan terkesima para pemuda. Maka, pemuda-pemuda terbaik berdatangan dari berbagai daerah untuk bisa berguru pada Tjokro.

Di kosan itu, Musso yang kemudian menjadi tokoh PKI adalah senior Soekarno, sementara Kartosoewirjo yang kemudian menjadi Pemimpin Besar DI/TII adalah mahasiswa kedokteran junior Soekarno, menjadi penghuni kos belakangan. Sejarah mencatat, persahabatan ketiganya berakhir tragis.

Soekarno, kemudian dikenal sebagai Bapak Proklamasi. Dikenang dengan kecerdasan wawasan pikirnya, tapi tidak dengan akhlaknya. Juga dinilai lembek dan terlalu berkompromi dengan penjajah.

Musso dikenal sebagai tokoh PKI, komunis yang telah mengembara ke berbagai penjuru dunia, komunis yang 23 tahun tinggal di Moskow, membawa nilai-nilai dari Uni Soviet, ibu negeri kaum proleter.

BACA JUGA: Negara Milik Semua

Tokoh ini percaya bahwa perundingan-perundingan dengan Belanda harus dihentikan, harus selekasnya membuka hubungan dengan Uni Soviet kalau Indonesia ingin tegak.

Kartosoewirjo juga sama, tidak mau terlalu berkompromi terhadap Belanda. Misalnya tidak setuju Perundingan Linggarjati yang mendatangkan kerugian bagi bangsa Indonesia. Sebab wilayah bakal menjadi menciut menjadi hanya Sumatera, Jawa dan Madura.

Perjuangannya tak hanya vokal terhadap Belanda. Urusan perjuangan juga dirancangnya dengan apik. Dimulai dengan mendirikan Institut Suffah, sebuah pesantren yang mengajarkan agama, politik dan kemiliteran. Murid-muridnya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari luar Jawa.

Mereka itulah yang kemudian sebagian besar menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah. Selain itu, Kartosoewirjo juga pernah menjadi redaktur koran Fadjar Asia, corong media Sarekat Islam.

Kelanjutan surat kabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta dan dikelola petinggi-petinggi SI seperti Tjokroaminoto, Agus Salim dan Sjahboeddin Latif. Media yang menjangkau mancanegara: London, Den Haag, Moskow, Mesir, India dan Tiongkok.

Di kesibukannya masing-masing, ketiganya sebenarnya masih ingat ajaran Tjokroaminoto. Pak Tjokro mengajarkan bahwa ada tiga bentuk fondasi Islam dalam bidang sosial yaitu vrijheid, gelijheid dan broederschap (Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan).

Pak Tjokro juga punya keyakinan teguh bahwa bangsa kita tak akan mencapai kehidupan adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram, sepanjang Islam belum dapat berlaku (Hal-115).

Sampai suatu ketika, dini hari 18 September 1948, tiga tembakan ke udara terdengar. Tanda dimulainya sebuan Brigade 29 PKI menguasai Madiun dan sekitarnya. Teriakan lantang terdengar “Van Madiun begint de victorie” (Dari madiun Kemenangan Dimulai).

Soekarno naik pitam “Aku tak menyangka. Baru sebulan aku ketemu Musso. Rupanya dia membawa rencana dari Moskow. Sungguh keji menikam saudara sendiri dari belakang.” Soekarno memanggil A.H Nasution, “Nas, kau tahu, PKI sudah bikin ulah di Madiun, apa pandanganmu”. “Itu pemberontakan, Pak. Harus kita tumpas.”

Koran-koran mengabarkan pembantaian demi pembantaian di Madiun dan sekitarnya setelah kota itu diduduki PKI. Banyak sumur tua sekitar Magetan yang dijadikan kuburan massal korban penjagalan PKI. Singkat cerita, Musso akhirnya diburu tentara dan mati dalam sebuah operasi.

“Lapor, Pak, Musso tewas tertembak di Ponorogo.”

“Inna lillahi, oalah, kenapa ditembak? Apa tidak bisa ditangkap saja?”

“Dia melakukan perlawanan senjata, Pak.”

“Mas Musso…Mas Musso…begini akhir hidupmu…”

Soekarno melangkah ke jendela kantornya. Bagaimanapun Musso adalah kawan. “Kami pernah mengalami suka-duka di Surabaya dulu. Moskow telah mengubah dia terlalu jauh…”

BACA JUGA: Kisah Memuliakan Tamu Ala Tuan A. Hassan

Sementara itu…

Yogyakarta diserang Belanda. Soekarno dan Hatta ditawan. Kartosoewirjo mengumumkan Perang Sabil melawan Belanda. Perang itu berakhir dengan digelarnya Perjanjian Roem-Royen. Dia menilai perjanjian itu telah menjual negara dan menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia.

Dalam kondisi vakum, menurutnya, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggungjawab. Maka, tepat ketika Hatta berangkat ke Den Haag untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar, di Desa Cisampang, Cisayong, Kartosuwirjo membacakan maklumat proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

Sebuah kenangan tersimpan bahwa Kartoesuwirjo pernah menulis surat kepada Soekarno “Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup semati. Tapi, dengan satu syarat, Pemerintah RI harus mengakui Darul Islam.” Syarat yang mustahil dipenuhi Soekarno.

Di tempat lain. Komplek Istana Merdeka. Selepas salat Idul Adha, seorang laki-laki menembak. Target tembak tak lain adalah Presiden Soekarno. Laki-laki itu ditangkap, dienterogasi dan mengaku utusan DI/TII.

BACA JUGA: Islam dan Pancasila

Mengaku diperintah oleh imam NII, Kartosoewirjo untuk membunuh presiden. Aksi lain yang diklaim dilakukan NII juga konon dilakukan. Saat Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Sekelompok yang dinilai anggota DI/TII melakukan penghadangan dan berusaha melakukan penculikan.

Kabar baiknya, pengawal presiden berhasil menyelamatkan kedua tokoh tersebut. Pertanyaannya, apakah benar mereka anggota DI/TII? Sejarah masih gelap.

Atas alasan demikian, maka tentara republik menggelar Operasi Bharatayudha untuk menumpas DI/TII. Berhasil? Butuh 13 tahun sampai Kartosoewirjo ditangkap. Dibawa ke Jakarta dan diadili dengan tiga dakwaan: berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno.

Pulau Ubi menjadi saksi bagaimana lima timah panas mengakhiri hidup sang imam DI/TII. Sebuah eksekusi yang ditanda tangani oleh sahabatnya sendiri, Soekarno.

Kisah ini memang dikemas dalam bentuk novel, tapi tentu berdasar riset sejarah yang matang. Maka, menjadi menarik untuk mencermati kisah seteru satu guru ini.

Bahwa konflik tokoh-tokoh republik zaman dulu adalah konflik-konflik ideologis, bukan konflik-konflik yang sifatnya personal semata. Sebuah pelajaran sejarah yang perlu mendapat perhatian siapapun. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here