Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 3)

1263

Kali ini, penat benar-benar menguasai jiwa Jantuk. Begitu pula letih dan pegal yang berkelindan di tulang belulangnya. Jantuk kelelahan.

Genap tiga puluh hari ia berjalan menjalani misinya. Tidak ada titik terang misinya akan berakhir.

Di tengah keletihan yang sangat, hatinya melonjak girang ketika di depannya terlihat sungai kecil yang dialiri air bening. Badan Jantuk segera meronta, kakinya seketika melompat mengejar kebahagiaan di depan mata. Aliran air itu diyakininya mampu menghilangkan kelelahan sekaligus melenyapkan dahaga yang mengeringkan tenggorokan.

“Selamat pagi, Nek,” sapa Jantuk ketika bertemu seorang nenek yang tengah mencuci beras di pinggir sungai kecil itu.

“Pagi, Nak. Kamu bukan penduduk sini?”

“Bukan, Nek. Saya Jantuk yang sedang mencari alamat Tuhan.”

“Alamat Tuhan?”

“Iya. Apakah nenek pernah bertemu dengan-Nya? Di mana alamat-Nya?”

Si nenek terdiam.

Diam si nenek bukan diam karena tidak mengerti. Diam si nenek adalah emas kemilau karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Si nenek adalah mutiara yang kedalaman jiwanya bening, lebih bening dari apapun. Meski bentuk rupa mutiara adalah hitam, namun ‘isinya’ penuh kesucian. Jelas betul perbedaan antara jasad dan isi.

Si nenek hanyalah tamsil betapa manusia sering terkecoh oleh bentuk, rupa, perwujudan. Manusia kerap melihat sebuah hal hanya dari satu sisi, tidak dari sisi lainnya. Manusia hanya lebih suka melihat yang kasat mata, tapi tidak dari substansinya. Inilah kebodohan yang memang menjadi trademark manusia seutuhnya.

“Nak, kamu benar-benar ingin bertemu Tuhan?” tanya si nenek memastikan.

“Benar, Nek. Tolong tunjukkan di mana Dia bisa saya temui?”

“Baiklah. Saya melihat kesungguhan yang luar biasa dari dirimu. Mudah-mudahan Gusti Allah mendengar kebulatan niatmu.”

“Aamiin. Tapi di mana Dia?”

“Nak, naiklah ke dheling itu. Niscaya kamu dapat menemui Tuhan dipucuknya,” si nenek menunjukkan dheling (pohon bambu) yang tak jauh dari tempatnya mencuci.

Dheling? Dengan apa saya bisa menaikinya, Nek?”

“Terserah dirimu. Kalau kamu benar-benar berniat menemui-Nya, pasti kamu bisa.”

Si nenek beranjak dari tempatnya. Sementara Jantuk harus terdiam sambil memikirkan cara yang cepat menaiki dheling agar segera menemui Tuhan. Dheling yang dimaksud si nenek, sejatinya, adalah kiasan. Dalam bahasa Jawa, dheling yag dimaksud bermakna ‘kandhele eling-eling’, tebalnya keimanan. Jantuk benar-benar percaya bahwa Tuhan mampu ditemuinya.

Namun, Jantuk bukanlah anak sekolahan yang setiap hari belajar memecahkan masalah dengan teori-teori. Di sampingnya pun tidak ada seorang profesor, dosen, atau ustadz yang bisa dijadikan tumpuan pertanyaan. Lagi pula Jantuk tak yakin benar apakah mereka mampu memberinya solusi. Sejumlah orang yang ditemuinya di sepanjang jalan saja tidak ada yang tahu cara menemui Tuhan.

Akhirnya, Jantuk tak lagi mampu berpikir. Namun, Jantuk tidak mau diam. Tekadnya yang bulat untuk ‘mendemo’ Tuhan harus dilakukan. Jantuk mulai memanjat dheling yang dianggapnya paling tinggi. Ia sangat yakin bahwa Tuhan berada di puncak yang paling tinggi. Tidak mungkin Tuhan bersemayam di dheling yang sedikit rendah atau malah paling rendah. Pastilah yang paling tinggi.

Jantuk segera memanjat dengan sangat hati-hati. Baru sampai ruas bambu yang kedua, Jantuk terjatuh. Begitu pula ketika ia kembali memanjatnya untuk kali kedua, ia pun terjatuh.

Jantuk tidak putus asa. Jantuk terus memanjat dheling meski berkali-kali ia terjatuh, meski badannya terbentur tanah keras dan batu-batu. Siang dan malam menjadi saksi betapa Jantuk benar-benar berupaya sangat keras mewujudkan keinginannya bertemu Tuhan.

 

Bersambung…


Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here