KH Saifuddin Zuhri Mengibarkan Misi Agama Sebagai Unsur Mutlak Nation Building

1562

Oleh: M. Fuad Nasar, Plt Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf atau Konsultan The Fatwa Center Jakarta

“Seorang menteri tidak ubahnya sebagai seorang nahkoda. Ia harus sadar betul ke mana tujuan perjalanan. Ia pun harus memahami situasi sekeliling, memahami peta laut dan pergantian cuaca tiap saat. Setelah membenahi gedung departemen, aku mencoba untuk memahami situasi medan. Tugas Menteri Agama adalah tugas perjuangan. Tidak semua orang mengharapkan aku mencapai sukses dalam perjuangan. Memang ada juga orang-orang yang mendekati aku dan untuk berada di sekelilingku. Di antaranya mereka memang ada yang ikhlas hendak ikut mensukseskan tugasku. Tapi ada juga yang hanya ‘ingin tahu’ apa yang sedang aku kerjakan. Dan lebih banyak lagi yang mengerumuniku, ibarat semut mengerumuni gula. Setelah gula tak ada lagi, semut-semut itu melarikan diri untuk mencari gula yang masih ada. Pengalaman ini aku rasakan tatkala aku tidak lagi sebagai Menteri Agama.” tulis KH Saifuddin Zuhri dalam memoar Berangkat dari Pesantren yang diterbitkan tahun 1987.

Saifuddin Zuhri menjabat menteri di era pemerintahan Soekarno. Dalam Kabinet terakhir Orde Lama yaitu Kabinet Dwikora atau “Kabinet 100 Menteri” yang dilantik pada 24 Februari 1966 Saifuddin Zuhri menjadi Menko Urusan Agama dengan ruang lingkup tugas mengkoordinasikan Menteri Agama, Menteri Penghubung Alim Ulama dan Menteri Urusan Haji. Sebelum jadi Menko pada 1966, Saifuddin Zuhri dilantik sebagai Menteri Agama pada 1962. Dalam perjalanan karir politik, ia pernah menjadi anggota Konstituante, DPR-GR, Dewan Pertimbangan Agung (DPA-RI) dan terakhir DPR-RI.

Tokoh kelahiran Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, 1 Oktober 1919 ini berasal dari keluarga sederhana. Semasa kecil menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar Bumiputra, Pesantren Karangsari Banyumas, Madrasah NU Al-Huda Sokaraja, dan Madrasah “Al-Islam” Surakarta. Pengalaman pekerjaan, menjadi pegawai Kementerian Agama sejak 1946. H.M. Rasjidi, Menteri Agama pertama, meminta Saifuddin Zuhri agar bersedia membantu Kementerian Agama yang belum lama berdiri. Menteri yang berasal dari kader Muhammadiyah itu memberi dispensasi tidak harus setiap hari masuk kantor mengingat kesibukan Saifuddin Zuhri dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Di samping itu, Saifuddin Zuhri pernah menjadi anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu, Penasihat Gubernur Militer Jawa Tengah, dan Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Tengah tahun 1950. Kiprahnya dalam organisasi NU sejak dari Sekretaris Cabang Ansor NU Banyumas, Sekretaris Majelis Konsul Daerah NU Jawa Tengah, Komisaris Daerah Ansor NU Jawa Tengah. Ia juga pernah menjadi Pemimpin Umum dan Redaksi surat kabar Duta Masyarakat. Pada 1954 menjadi Sekjen Pengurus Besar NU, dan terakhir Mustasyar PBNU. Selama menjabat menteri, ia non-aktif dari kepengurusan NU. Semasa NU masih bergabung di dalam Masyumi, Saifuddin Zuhri menjadi Ketua Cabang Masyumi Tingkat Keresidenan di Jawa Tengah. Tokoh yang berpengalaman sebagai wartawan dan guru madrasah NU di Sokaraja dan Purwokerto itu menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Semasa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, Saifuddin Zuhri menjadi Komandan Hizbullah Divisi Sultan Agung di Jawa Tengah.

Sebuah cerita menarik ketika Saifuddin Zuhri berkeliling Jawa Tengah untuk mengumpulkan uang biaya NTR (Nikah, Talak, Rujuk) untuk disetorkan kepada kantor pusat Kementerian Agama saat itu di Yogyakarta. Karena lama tidak diambil, uang setoran itu menumpuk sampai tiga karung besar. Bersama tiga orang pembantunya, ia memanggul karung beras tersebut naik-turun gunung dan keluar-masuk hutan. Ketika bertemu dengan atasannya di Desa Brosot, pinggiran Yogyakarta, Saifuddin Zuhri menyerahkan uang tersebut. Setelah dihitung-hitung, ternyata jumlahnya sama persis dengan catatan NTR. “Mengapa sampeyan tidak mengambil sedikit untuk biaya makan di perjalanan? Sebagai pejabat berwenang, sampeyan berhak, asal ada catatannya,” kata atasannya. Saifuddin Zuhri menjawab, “Saya enggak berani. Ini uang negara, saya bisa kualat kalau memakannya.”

Suatu hari dalam tahun 1962 Saifuddin Zuhri dipanggil Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Tak disangka-sangka diminta menjadi Menteri Agama. Ia tidak langsung menerima jabatan tersebut, tetapi minta diberi waktu untuk berpikir selama 10 hari. Saifuddin Zuhri terlebih dahulu meminta pertimbangan sesepuh NU KH Abdul Wahab Hasbullah dan Ketua PBNU KH Idham Chalid serta K.H.M. Wahib Wahab, mantan Menteri Agama sebelumnya yang meletakkan jabatan.

Sikap tawadhu dan tidak mau meminta jabatan dibuktikan tidak hanya ketika ditawari jabatan Menteri Agama, tapi juga ketika mendapat kepercayaan menjadi Sekjen PBNU tahun 1954. “Mengapa saya, bukan orang lain.” itulah tanggapan spontan Saifuddin Zuhri. Istri beliau Ibu Solichah Saifuddin memberi saran, “Yang harus menilai apakah kita ini cakap atau tepat menduduki suatu jabatan itu bukan kita, tetapi orang lain.”

Saifuddin Zuhri dilantik sebagai Menteri Agama oleh Presiden Soekarno pada hari Jumat tanggal 2 Maret 1962 bertepatan dengan 25 Ramadhan 1381 H. Ia mengemban jabatan Menteri Agama sampai dengan 18 Oktober 1967. Dalam pidato pelantikan Menteri Agama, Presiden Soekarno memberi tugas dan misi kepada Saifuddin Zuhri sebagai seorang yang dianggap mengerti kedudukan agama di dalam masyarakat untuk memperkuat eksistensi “agama sebagai unsur mutlak dalam Nation Building.” Pengertian nation building yang dimaksud Soekarno ketika itu – sebagaimana diucapkan dalam pidatonya saat melantik Menteri Agama – ialah mengenai segala hal, mengenai bidang politik, ekonomi, kejasmanian, masyarakat, dan hubungan-hubungan internasional. Di dalam nation building, salah satu unsur mutlaknya adalah agama yang menduduki tempat amat penting.

Dikutip dari buku Peranan Departemen Agama Dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa (1965), Menko Urusan Agama/Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri menandaskan bahwa di dalam semua kegiatan pembinaan Bangsa dan Negara mestilah diberikan ruang yang cukup bagi hidup dan geraknya keyakinan serta kehidupan Agama, meliputi aspirasi-aspirasinya dan upacara peribadatannya, disebabkan satu kesadaran bahwa Agama merupakan unsur mutlak bagi pembinaan karakter Bangsa dan Negara. Kekayaan nilai-nilai ruhaniah-lah yang dapat menyelamatkan kemajuan dunia materi dan menyelamatkannya dari segala penyelewengan. Menurut Saifuddin Zuhri, “Memanglah demikian, sebab agama adalah realisasi daripada percaya atau iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu tidak bisa dibenarkan pendapat yang mengatakan: Ber-Tuhan tetapi tak beragama.” Hemat saya, misi menggelorakan peran agama sebagai unsur mutlak nation building masih relevan dan sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia dewasa ini.

Departemen Agama semasa dipimpin Saifuddin Zuhri pada 1964 memprakarsai penyusunan Rancangan Undang-Undang Pelaksanaan Zakat dan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian serta Pembentukan Baitul Maal. Dalam tahun yang sama Departemen Agama atas arahan Saifuddin Zuhri menyelenggarakan Musyawarah Kerja Wakaf dan Zakat yang dihadiri unsur partai dan organisasi Islam. Adapun rancangan regulasi zakat yang bernilai strategis bagi kesejahteraan umat dan bangsa tidak terealisasi sampai Saifuddin Zuhri mengakhiri masa jabatannya.

Di era menteri Saifuddin Zuhri, sebagaimana tercantum dalam buku Peranan Departemen Agama Dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa dibentuk beberapa lembaga dan biro dalam organisasi dan tata kerja Departemen Agama, seperti Lembaga Penasehat Perkawinan dan Kesejahteraan Keluarga. Lembaga yang dipimpin oleh HSM Nasaruddin Latif itu memberikan bantuan teknis kepada BP4 yang mempunyai status semi-resmi dan mendapat subsidi tetap dari Departemen Agama. Di samping itu dibentuk Lembaga Rencana dan Bimbingan Zakat & Wakaf dipimpin oleh H. Darwis Aminy, Biro Penerbitan dan Perpustakaan Agama dipimpin oleh H. Mas’uddin Noor, dan Lembaga Penelitian Gerakan/Aliran Kerohanian dipimpin oleh S. Sjamsuddin. Di samping itu dibentuk Biro Perguruan Tinggi Agama dipimpin oleh H. Anton Timur Djaelani, MA.

Di bidang pembinaan dan pelayanan kehidupan beragama, peninggalan atau legacyMenteri Agama Saifuddin Zuhri yang memiliki makna monumental bagi umat Islam Indonesia, ialah pembentukan lembaga penterjemah Al Quran yang menghasilkan Al Quran dan Terjemahnya. Al Quran dan Terjemahan bahasa Indonesia sebagai karya besar disusun oleh ulama dan ahli yang mempunyai kompetensi di bidangnya, yaitu Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Bustami Abdul Gani, Prof. Muchtar Yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Omar, Dr. H.A. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Gazali Thaib, K.H.A. Musaddad, K.H. Ali Ma’shum, dan Drs. Busjairi Madjidi. Pada 28 Maret 1966 dilaksanakan upacara penyerahan Kitab Terjemah Al Quran kepada Departemen Agama. Dalam rangka proyek pembangunan semesta, Departemen Agama juga menerbitkan kitab suci agama-agama lain. Sementara itu untuk memberi fungsi dakwah pada Departemen Agama, Saifuddin Zuhri seperti diungkapkannya, ia selalu membuat slogan-slogan perjuangan yang bernafaskan agama pada setiap hari-hari besar nasional maupun keagamaan.

Gedung Departemen Agama di Jln. M.H. Thamrin No 6 Jakarta Pusat pada waktu itu merupakan bangunan perkantoran termegah di jalan protokol ibukota berdampingan dengan gedung Bank Indonesia. Gedung empat lantai tersebut dirampungkan pembangunannya dan diresmikan oleh Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri pada 1 Mei 1963. Pembangunan gedung tersebut dimulai sejak periode menteri K.H.M. Wahib Wahab. Selain itu Yayasan Pembangunan Islam (YPI) dan Percetakan YPI di Ciawi Bogor dan Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) merupakan peninggalan kebijakan Menteri Agama Saifuddin Zuhri yang bernilai monumental.

Pembangunan Masjid Istiqlal sejak pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1961 berjalan lambat dan terhenti ketika runtuhnya pemerintahan Orde Lama pasca pemberontakan G.30.S/PKI. Panitia Pembangunan Masjid yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden RI beberapa kali diganti. Sampai 1969 bangunan Masjid Istiqlal masih berbentuk pilar-pilar beton tanpa atap. Presiden Soekarno pada saat itu memprioritaskan pembangunan Monumen Nasional (Monas).

Menteri Agama Saifuddin Zuhri sempat mempertanyakan hal itu kepada Presiden, ”Mengapa bapak tidak menyelesaikan bangunan Masjid Istiqlal?”

Jawab Soekarno, ”Karena saya tidak punya duit. Kalau ada duit, saya akan selesaikan dua-duanya (Istiqlal dan Monas) sekaligus.”

Saifuddin Zuhri bertanya lagi, ”Ya, tetapi mengapa bapak dahulukan Monas?”

Soekarno menjelaskan, ”Begini. Saya sudah tua. Kalau Allah SWT mentakdirkan saya mati, padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalku belum tentu menyelesaikannya. Tetapi kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka pasti akan menyelesaikannya. Insya Allah SWT….”

”Hei, saudara tahu, tempat Masjid Istiqlal itu didirikan dulunya tempat apa?”

Saifuddin Zuhri menjawab, ”Benteng VOC”.

Soekarno mengatakan, ”Hah, pelajari sejarah yang benar. Dulu di sana ada satu masjid. VOC datang menduduki Jakarta, masjid itu dirobohkan. Mereka mendirikan sebuah benteng. Itu sebabnya di depannya, beberapa tahun kemudian didirikan Katedral, sebuah gereja besar dengan tempat kediaman Uskup. Setelah Indonesia merdeka, lalu bekas benteng VOC itu saya robohkan. Saya dirikan di atasnya Masjid Istiqlal. Hebat tidak presidenmu?”.

”Iya Pak! Kalau tidak hebat buat apa menjadi presiden…”. Demikian penuturan Saifuddin Zuhri dalam buku memoarnya.

Di era Demokrasi Terpimpin/Orde Lama, label “Kontra-Revolusi” begitu mudah dilekatkan kepada organisasi, sekelompok orang, ataupun perorangan yang berseberangan dengan penguasa. Suatu hari Presiden Soekarno memanggil Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri ke istana, memberi tahu bahwa ia akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kata Bung Karno, “Kalau HMI bubar, NU kan untung, PMII makin besar.”

Saifuddin Zuhri menanggapi, “Soalnya bukan masalah untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat!. Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, maka tugasku sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini….!” ucap Saifuddin Zuhri.

Bung Karno tercengang, “Waah…tidak saya sangka kalau saudara membela HMI, ya?” ujar presiden.

Saifuddin Zuhri mencatat dialog dengan Bung Karno itu dalam memoarnya. Desakan dan provokasi agar presiden membubarkan HMI sebetulnya berasal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Menteri Agama Saifuddin Zuhri sangat bijak dan membuktikan bahwa ia menjadi pengayom bagi semua golongan dan organisasi umat di saat merebaknya politik yang memecah belah umat Islam.

Sewaktu Saifuddin Zuhri diangkat sebagai Menteri Agama, perguruan tinggi agama Islam negeri, yaitu Institut Agama Islam Negeri disingkat IAIN atau “Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah” baru ada di Yogyakarta dengan cabang di Jakarta. Saifuddin Zuhri bertekad mewujudkan pemerataan pembentukan IAIN di setiap provinsi. IAIN dipandang sebaga pusat pengajaran dan pendidikan tingkat tinggi bagi pemuda-pemuda Islam, tempat persemaian kader-kader muslim masa kini dan masa depan serta jalan pintas untuk mengejar ketinggalan umat Islam di bidang pendidikan tinggi. Malahan lebih jauh, Saifuddin Zuhri memandang posisi IAIN menduduki fungsi strategis bukan saja di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang ukhuwah islamiyah. Ia menginginkan para ulama NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain duduk satu deretan menjadi dosen serta memiliki sense of belonging, merasa ikut memiliki IAIN.

Saifuddin Zuhri sejak awal telah membuat apa yang diistilahkannya sebagai “tanggul-tanggul” agar IAIN tidak menjadi saingan dengan pondok pesantren. IAIN juga tidak boleh mematikan perguruan tinggi Islam swasta milik masyarakat. “Aku tidak menghendaki matinya inisiatif masyarakat, aku tidak ingin negara RI ini menjadi negara totaliter, segalanya diatur pemerintah seperti negara-negara komunis” demikian kurang lebih prinsip Saifuddin Zuhri.

Tujuan pendirian IAIN (kini UIN) seperti dapat ditelusuri dari beberapa sumber literatur ialah untuk memberi pengajaran dan pendidikan universitair serta menjadi pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama mengupayakan pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar di luar negeri yaitu ke Mesir. Mahasiswa Indonesia yang dikirim oleh Departemen Agama di masa itu ke Mesir, di antaranya ialah Abdurrahman Wahid dan Zakiah Daradjat.

Departemen Agama di masa itu tidak mempunyai anggaran yang memadai untuk pembangunan IAIN, maka kebijakan yang ditempuh Saifuddin Zuhri selaku Menteri Agama ialah bagi daerah-daerah yang menghendaki berdirinya IAIN diminta membentuk “Badan Wakaf” untuk mengusahakan tanahnya, gedungnya dan modal awal. Dengan demikian, IAIN menjadi milik bersama masyarakat dan pemerintah. Tanah dan gedungnya milik masyarakat, sedangkan fasilitas lainnya diberikan oleh pemerintah. Dari modal satu IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, selama Saifuddin Zuhri menjabat Menteri Agama berkembang menjadi 9 IAIN, yaitu di Jakarta, Banda Aceh, Surabaya, Ujung Pandang, Banjarmasin, Padang, Palembang dan Jambi, yang masing-masing diresmikan langsung oleh beliau.

Sekarang dipermasalahkan bangunan pemerintah seperti perguruan tinggi, madrasah dan gedung KUA yang berdiri di atas tanah wakaf menjadi “temuan” pemeriksaan BPK dan tidak bisa mendapatkan bantuan atau alokasi anggaran dari APBN. Saya kira itu mengabaikan sejarah. Seyogyanya keberadaan bangunan atau Barang Milik Negara (BMN) di atas tanah wakaf bisa diakomodir dengan perlakuan yang bersifat khusus.

Mengenai toleransi atau kerukunan antar-umat beragama di negara Republik Indonesia, Saifuddin Zuhri memiliki pandangan bahwa toleransi tidak bisa hanya datang dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya berpegang pada hak-haknya sendiri.” Sebagai pembantu presiden, Menteri Agama Saifuddin Zuhri melandasi setiap kebijakan menyangkut kerukunan umat beragama dengan meletakkan prinsip toleransi beragama secara wajar.

Saifuddin Zuhri diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang dakwah atas inisiatif IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1964. Semula ia sungkan untuk menerima penghargaan yang baginya terlalu tinggi buat seorang menteri berlatar belakang Santri. Semenjak muda Saifuddin Zuhri memelihara tradisi menulis dan menjadi kolumnis media massa. Ia produktif menuangkan buah pikiran dan pandangan tentang berbagai persoalan agama, sejarah, dan politik dalam bentuk buku dan artikel surat kabar.

Buku-buku karya Saifuddin Zuhri yang diterbitkan ialah: Palestina Dari Zaman Ke Zaman (1947), K.H. Abdulwahab Hasbullah Bapak dan Pendiri NU, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, Kaleidoskop Politik Di Indonesia, 3 jilid, Secercah Da’wah, Unsur Politik Dalam Da’wah, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.Karya terakhirnya memoar Berangkat Dari Pesantren. Putra tertua K.H. Saifuddin Zuhri, yakni Dr. H. Fahmi D. Saifuddin, menceritakan kepada saya pengalamannya melaksanakan wasiat ayahandanya untuk mengurus penerbitan naskah memoar Berangkat Dari Pesantren (1987). Saifuddin Zuhri tidak sempat melihat autobiografinya diterbitkan.

Dalam era Orde Baru, Saifuddin Zuhri terpilih sebagai anggota DPR/MPR-RI hasil Pemilu 1971 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia salah satu Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan, namun pada tahun 1981 mengajukan pengunduran diri karena ketidakcocokan di internal partai. Saifuddin Zuhri seorang yang lurus dan konsisten memegang prinsip musyawarah dalam menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam organisasi politik. Pada masa itu sudah menjadi rahasia umum bahwa partai politik Islam seringkali diintervensi oleh penguasa sehingga tidak bisa muncul menjadi kekuatan politik umat yang besar.

Sebagai ulama dan pemimpin muslim yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan umat, Saifuddin Zuhri menegaskan dalam salah satu tulisannya di surat kabar bahwa “Perasaan solider adalah hak tiap-tiap sesama saudara dalam Islam yang wajib ditunaikan. Layakkah disebut umat, jika persatuan cuma slogan, jika solidaritas cuma ketidak-acuhan?” ungkapnya.

Saifuddin Zuhri wafat di Jakarta, 25 Februari 1986/16 Jumadil Akhir 1406 H dalam usia 66 tahun. “K.H. Saifuddin Zuhri merupakan seorang pejuang yang gigih dan nasionalis serta ulama yang matang sebagaimana tercermin dari sikap perjuangan dan perjalanan hidup yang dilaluinya.” ucap Prof. Dr. Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada upacara pemakaman jenazah almarhum di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan.

Sangat mengesankan renungan ayahanda Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ini tentang perjalanan hidupnya hingga terminal akhir dan menjadi nasihat bagi siapa saja yang mendapat amanah sebagai pemimpin dan pejabat. Ia mengatakan, “Jika aku digolongkan di dalam barisan pemimpin, tentulah cuma pemimpin kecil saja. Aku menyadari bahwa para pemimpin itu menduduki tempat yang dekat dengan Surga jika mereka bertindak benar dan jujur; semoga aku digolongkan dengan mereka. Sebaliknya, bahwa para pemimpin itu juga menduduki tempat yang dekat dengan neraka jika mereka bertindak salah, serong atau main selingkuh, semoga aku dijauhkan dari mereka.”

Sumber: fuadnasar.wordpress.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here