Islamophobia dan Tanggung Jawab Dakwah (2)

849

Keempat, konsisten dalam edukasi.

“Al-hayaatu jihaadun”. Bahwa hidup itu adalah perjuangan.

Demikian titah baginda Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa hidup seorang Mukmin itu memang dalam perjuangan. Semua hal dalam hidup dilakukannya secara sungguh-sungguh dan “positive result oriented” (berorientasi hasil positif).

Menyikapi Islamophobia pun memerlukan perjuangan panjang. Apalagi Islamophobia menyangkut persepsi, bahkan boleh jadi merupakan fenomena kejiwaan. Dan kedua hal itu, persepsi dan mentalitas, untuk merubahnya bukan hal yang mudah.

Sebuah gereja yang terletak tidak jauh dari Masjid Al-Hikmah, Masjid milik warga Indonesia di kota New York. Gereja itu bernama Sannyside Church. Sekitar tahun 1998, kami sudah memulai dialog dengan mereka.

Awalnya memang tidak mudah. Tapi saya ketika itu berkali-kali mendekati pendetanya, keturunan Puerto Rica, dan mengajaknya melakukan dialog antar komunitas. Ternyata pendekatan yang memakan waktu yang cukup lama itu merubah persepsinya tentang Islam.

Sang Pendeta ketika itu jujur. Belum pernah ketemu dengan orang Islam. Apalagi mendatangi Masjid. Tapi belakangan sang Pendeta membawa jamaahnya mengunjungi Masjid Al-Hikmah.

Demikianlah kiranya usaha merubah persepsi tetangga-tetangga itu memerlukan persistensi atau usaha yang bersifat sustainable (berkesinambungan). Karenanya usaha ini tidak cukup dengan tablig akbar-tablig akbar jutaan orang.

Seorang Muslim dituntut melakukan edukasi terhadap tetangganya terus menerus. Bukan hanya dengan kata-kata. Tapi dengan prilaku, bahkan dengan sekedar senyuman sekalipun. Insya Allah dalam perjalanan masa persepsi tetangga akan merubah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here