Islamophobia dan Tanggung Jawab Dakwah (2)

849

Kedua, pemahaman agama yang solid.

Hal yang aneh terkadang adalah ketika seseorang mengaku atau diakui sebagai “pejuang” Islam, tapi pemahamannya tentang Islam sangat minim. Akibatnya seringkali yang dikedepankan adalah sisi “emosional”.

Keadaan ini juga biasanya berakibat fatal. Reaksi terhadap masalah yang dihadapi menjadi labil dan sering dilandasi emosi yang mengesampingkan rasionalitas. Akibatnya orang lain menuduh Islam sebagai agama yang emosional dan amarah.

Di sinilah urgensi memahami Islam secara benar. Islam bukan sekedar tatanan “perintah dan larangan”. Islam juga menyangkut isu pemikiran dan mentalitas. Dan yang terpenting adalah karakter kemanusiaan itu sendiri.

Menghadapi Islamophobia harus dengan jalan Islam itu sendiri. Jalan yang mengedepankan rasionalitas, keseimbangan, pertimbangan maslahah ‘aammah (kepentingan luas). Bukan dengan pendekatan ego dan kepentingan sempit. Apalagi dengan emosi dan karakter destruktif.

Ketiga, jadikan Rasulullah sebagai role model.

Dalam segala prilakunya Muslim harusnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai “role model” atau contoh tauladan. Tentu tidak terkecuali, bahkan lebih utama lagi, ketika kita berinteraksi dengan dunia dakwah.

Bagaimana beliau menyampaikan Islam? Bahkan bagaimana beliau menghadapi kesalah pahaman dan kebencian orang-orang sekitarnya?

Yang pasti beliau selalu mengedepankan akhlak karimah (karakter mulia). Beliau imbang dalam segala hal. Beliau mengedepankan hati dan akal sehat. Beliau santun dalam kata dan karakter.

Sebuah cerita yang saya ulang-ulangi yang terjadi pasca 9/11 di kota New York. Ketika itu saya membuka kelas khusus non Muslim di Islamic Center New York. Suatu ketika datanglah seorang warga putih Amerika, berumur sekitar 50 tahun.

Di depan pintu kelas dia hanya teriak-teriak memaki, mengutuk, sambil mengacungkan telunjuk ke saya. Saya dengarkan dan diam. Dia kemudian meninggalkan dengan sendirinya.

Saya keluar dari kelas dan memanggilnya. “Sir, can we just shake hand?”?

Ternyata dia mau balik dan jabat tangan dengan saya. Saya tersenyum semanis mungkin kepadanya sambil menjabat tangannya.

Singkat cerita, minggu depannya sang pria itu datang lagi. Saya yang rasanya tidak tahan ingin tahu kenapa dia datang lagi. Dan kali ini tidak lagi marah. Tapi duduk dan mendengarkan presentasi saya tentang Islam.

Ternyata menurut dia, dia datang karena dalam beberapa hari terakhir dia kurang tidur. Alasannya karena merasa bersalah telah salah paham dengan Islam dan Rasulullah SAW.

Dia mengaku bahwa keinginan saya berjabat tangan dan tersenyum kepadanya minggu sebelumnya, walau dia telah bersikap sangat jahat kepada Rasulullah menjadikannya merasa bersalah dan tidak bisa tidur.

Singkat cerita, teman kita ini belajar Islam sekitar 6 bulan dan masuk Islam. Kini teman kita yang bernama Mark ini sering membuka meja di stasiun subway untuk membagi-bagi informasi tentang Islam ke warga Amerika.

Itulah karakter dan ketauladanan Rasulullah SAW dalam menyikapi permusuhan orang sekitarnya, yang kemungkinan besar memang tidak tahu. Dan ini pulalah harusnya menjadi ketauladanan kita dalam menyikapi Islamophobia di Amerika dan dunia Barat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here