Jakarta, Muslim Obsession – Islam di Indonesia memang paling banyak jumlahnya di dunia. Namun tidak semua wilayah di Indonesia mayoritas Islam. Khusus di wilayah Timur, kebanyakan Islam menjadi kalangan minoritas. Seperti halnya di Papua.
Meski minoritas, bukan berarti Islam tidak ada di Papua. Islam tetap ada dan menjadi bagian dari salah satu keyakinan yang dianut masyarakat Papua. Menyebarnya Islam di tanah Papua disebut-sebut karena adanya gerakan dakwah Islamisasi di wilayah tersebut. Seperti di Lembah Baliem.
Menurut Peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto agama Islam mulai berkembang di Lembah Baliem, Papua. Hal itu berawal dari program Presiden Sukarno yang mengirimkan relawan Pelopor Pembangunan Irian Barat atau PPIB.
Relawan yang berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta ini disebar ke seluruh pelosok Papua untuk mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat atau Papera. “Semua relawan ini beragama Islam,” kata Hari Suroto, Senin (12/4/2021).
Melalui interaksi yang intensif serta dakwah dari para relawan tersebut, sebagian Suku Dani di Lembah Baliem masuk Islam.
Bermula dari Kampung Megapura, lalu ke Kampung Hitigima, Welesi, Okilikik, Araboda, dan Air Garam. Berlanjut ke Kampung Kurima, Tulima, Apenas, dan Jagara.
Masyarakat Suku Dani yang memeluk Islam tak serta-merta meninggalkan tradisi. Mereka masih mempertahankan tradisi khas Lembah Baliem, yaitu bakar batu.
Tradisi bakar batu dilakukan menyambut Ramadhan dan hari besar Islam lainnya. Selama ini dalam tradisi bakar batu di Lembah Baliem, bahan makanan yang dimasak adalah daging babi.
Komunitas muslim Suku Dani menggantinya dengan ayam kampung atau ayam broiler yang di Papua disebut dengan ayam es. Ada pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan saat melaksanakan tradisi bakar batu.
Kaum perempuan menyiapkan berbagai bahan makanan, seperti sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan ayam. Mereka bahu-membahu mengumpulkan dan membersihkan bahan makanan tersebut.
Sementara para lelaki menyusun batu di atas kayu kering kemudian menutupnya dengan daun dan rumput kering untuk dibakar.
Tidak jauh dari lokasi batu dibakar, mereka membuat sebuah kubangan dalam tanah. Batu panas hasil pembakaran tadi kemudian ditata secara merata di dalam lubang.
Selanjutnya, mereka menyusun berbagai jenis bahan pangan, seperti sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan ayam di atas permukaan batu panas yang telah tersusun tadi.
Bahan pangan ini kemudian ditutup dengan daun ubi jalar atau sayur-sayuran lainnya, dan terakhir ditutup rapat dengan batu panas lagi.
Bahan makanan yang sedang dimasak itu baru boleh dibuka setelah tiga jam. Para pria membuka setiap lapisan kemudian menyajikannya dan makanan pun siap disantap.
Tradisi bakar batu menyambut Ramadan biasanya berlangsung di halaman masjid atau musala. Dalam pelaksanaanya biasanya mereka bergotong royong, melibatkan Suku Dani yang beragama Nasrani.
“Pelajaran berharga yang dapat diambil dari kehidupan beragama di Lembah Baliem adalah rasa toleransi beragama yang tinggi. Mereka juga masih mempertahankan tradisi warisan leluhur,” kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih, Papua, ini.
Selain di Lembah Baliem, tradisi bakar batu menggunakan ayam es juga dilakukan komunitas Muslim Suku Dani yang merantau ke Kota Jayapura. (Albar)