Integritas Politik Buya HAMKA

2500

Allahu Akbar! Yang Lain Kecil  Belaka

APAKAH yang menyebabkan Buya HAMKA, seorang yang lemah lembut, dapat tiba pada sikap tegas. Sikap yang tidak takut kehilangan apa-apa?

Dalam sebuah pidato di Majelis Konstituante, Buya HAMKA antara lain mengingatkan bahwa orang Islam dengan tidak mengingat apakah dia kemudian menjadi anggota Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), atau Partai Buruh; menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan ajaran agamanya. Orang tua rela melihat mayat puteranya dibawa pulang berlumur darah, tidak bernyawa lagi, karena spontan terasa bahwa puteranya yang tewas itu adalah mati syahid yang akan diganjar dengan syurga.

“Tidak ada tempat takut, melainkan Allah. Allahu Akbar! Hanya Allah Yang Maha Besar, yang lain kecil belaka! Laa ilaaha illallah. Tidak Tuhan tempat menyembah, tempat takut, tempat memohon, tempat berlindung, melainkan Allah!” Inilah prinsip perjuangan Buya HAMKA yang dia pegang teguh hingga akhir hayatnya.

Dengan Allahu Akbar, tanpa canggung Buya HAMKA terjun ke gelanggang pergaulan sebangsa maupun antarbangsa. Di gelanggang nasional, Buya HAMKA mengaku merasa bebas bercakap-cakap dan berbicara dari hati ke hati dengan Arnold Mononutu,seorang tokoh PNI beragama Nasrani. Dipujinya Mononutu sebagai salah seorang diplomat besar Indonesia setara dengan L.N. Palar, dan A.A. Maramis.

Bagi Buya HAMKA, toleransi kehidupan antarpemeluk agama yang diamalkan dan dinikmati sepenuhnya berasal dari pengamalan agama para pemeluk agama masing-masing. Dalam hubungan ini Buya HAMKA mengenang betapa di zaman perang kemerdekaan kaum Muslimin di desa-desa di Jawa Tengah menyambut kedatangan tokoh Katolik, I.J. Kasimo, dengan penuh cinta seperti mereka menyambut tokoh-tokoh Islam Prawoto Mangkusasmito dan Zainul Arifin.

Toleransi kehidupan antarumat beragama bagi Buya HAMKA bukanlah ekspresi yang dibuat-buat seperti doa pancaagama atau merayakan Natal bersama. Toleransi yang substansial itu telah hidup di tengah masyarakat kepulauan Nusantara jauh sebelum kaum penjajah Barat datang ke negeri ini. Di Maluku, misalnya, sejak dulu sudah ada adat Pela. Antara tetangga, antarkampung, Muslim atau Nasrani, saling bantu membantu. Di Sipirok, Sumatera Utara, berdampingan Masjid dengan Gereja. Di sana ada Pendeta Harahap, di sana ada pula tokoh Muslim Mr. Burhanuddin Harahap.

Hubungan kita yang baik lahir atas buah iman agama kita sendiri. “Kami orang Islam mencintai Saudara (yang beragama Kristen) karena selalu kami baca dalam al-Quran bahwa di antara banyak pemeluk agama, maka pemeluk Kristenlah yang dekat kepada kami. Kami tidak pernah ragu akan isi al-Quran, meskipun praktik yang kami rasakan selama 350 tahun menunjukkan bahwa Kristen Belanda itulah yang paling membenci kami,” ujar Buya HAMKA di podium Majelis Konstituante.

Buya HAMKA mengingatkan di negara yang berdasarkan Islam sekalipun, kaum Nasrani bukan saja dijamin untuk melaksanakan ajaran agamanya,  bahkan dianjurkan untuk menjalankan ajaran Injil. Demikianlah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q.S. al-Maidah ayat 47:

“Hendaklah keluarga Injil menghukum dengan apa yang diturunkan Allah di dalamnya.”

Dengan ayat ini, demikian Buya HAMKA, positiflah jaminan Islam atas Kristen, dan bukan orang Islam yang mengurusnya, tetapi pemeluk Kristen sendiri bebas menjalankannya, mengaturnya, menyiarkannya, menurut tata tertibnya sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here