Hakikat Wudhu yang Disucikan adalah Batinnya, Bukan Badannya

4493

Jakarta, Muslim Obsession – Selalu ada yang menarik dari setiap kajian atau ngaji bareng di Maiyahan, yakni sebuah forum diskusi belajar bareng yang digelar dengan menghadirkan tokoh utamanya Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun.

Maiyah setiap bulan digelar diberbagai daerah dari kabupaten ke kebupaten, dari desa ke desa, dan dari provinsi ke provinsi lain. Bahkan forum maiyahan kerap beranjak sampai ke luar negeri. Sering kali Can Nun ditemani oleh Group Musik Kiai Kanjeng.

Bagaikan magnet, kehadiran Cak Nun membawa daya tarik sendiri bagi ribuan orang untuk ikut dalam kehangatan Maiyah. Laki-laki, perempuan, tua, muda, tidak memandang profesi, agama, suku dan ras, semua berkumpul dalam satu wadah bernama Maiyah untuk belajar bersama, berusaha untuk menemukan kembali kesejatian manusia.

Ya, Maiyah adalah sebuah forum diskusi yang sangat sederhana, semua ilmu dielaborasi bersama, tidak ada jarak yang begitu jauh antara audiens dengan narasumber, bahkan seringkali podium atau panggung hanya berjarak beberapa centimeter saja dari jamaah. Karenannya, Maiyah begitu digemari oleh semua kalangan.

Penulis sendiri termasuk pecinta Maiyah, hampir tiap bulan di Jakarta selalu ikut ngaji bareng bersama anak-anak Maiyah di Kenduri Cinta. Kenduri Cinta adalah forum anak-anak Maiyah yang digelar setiap bulan sekali di hari Jumat kedua. Tempatnya berada di Taman Ismal Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

Kenduri Cinta juga sering kedatangan tamu orang-orang penting, seperti Gubernur Jakarta Anies Baswedan, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, penyidik KPK Novel Baswedan, KH Hasan Sahal, Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua, Taufik Ismail, Pelatih sepak bola U19 Indra Sjafri, Sujiwo Tejo dan masih banyak lainnya.

Tentu ada hal yang selalu diingat dari setiap apa yang disampaikan Cak Nun kepada para jemaah. Khususnya berkaitan dengan kedalaman ilmu, dan pemaknaannya dalam melihat perisitiwa atau objek. Pemikiran Cak Nun yang lebih menekankan kepada hakikat menjadikan orang bisa berpikir lebih terbuka, tidak sempit.

Misalnya, penulis masih ingat ketika Cak Nun bicara soal Wudhu. Bagi Cak Nun, esensi atau hakikat Wudhu sejatinya yang disucikan adalah batinnya, bukan tubuhnya. Sebab, kalau yang disucikan tubuhnya maka ketika seseorang itu kentut, maka harusnya disucikan atau dibersihkan adalah pantatnya.

“Logikanya kalau yang disucikan badan, mestinya kalau kamu kentut yang dibersihkan itu bokongmu (Pantatmu), tapi ini kan tidak, kita disuruh mengulang,” ujar Cak Nun.

“Artinya apa? Esensi wudhu sejatinya untuk mensucikan jiwa. Mulut kita disuruh kumur-kumur agar kita mampu bicara yang baik-baik. Telinga dibersihkan agar kita tidak mendengarkan perkataam kotor, mata juga demikian tidak melihat yang jorok. Semua sampai ke kaki.”

“Kalau kita membersihkan kain atau tubuh dari kototan itu gampang tinggal dicuci hilang, tapi membersihkan hati yang kotor dari kesombongan, keangkuhan, kecongkakan itu yang susah.”

Menurutnya, kesombongan itu bisa jadi tidak hanya menimpa kepada orang yang kaya harta, atau orang berilmu, tapi juga ahli ibadah. Mereka yang ibadahnya rajin, sering kali sombong karena merasa lebih alim dari yang lain. Padahal ketakwaan seseorang itu yang tahu hanya Allah.

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan sorban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim. Kalau itu tidak benar, itu kan namanya ‘penipuan’!”

“Orang itu nggak butuh shalatmu, ibadahmu, tapi yang orang butuhkan adalah kelakukanmu setelah shalat. Puncak dari syariat adalah akhlak.”

Bagi Cak Nun, sekarang orang semakin kehilangan kemampuan untuk bisa benar tanpa menyalahkan. “Kita semakin tidak sanggup untuk benar, kecuali harus dengan menyalahkan. Yang benar kita, orang lain salah. Semua dan setiap pihak, berdiri pada posisi itu.”

Menurutnya, di wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan.

“Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan),” tandas Cak Nun.

Demikianlah sedikit tentang kearifan ilmu yang didapat dari Maiyah. Tentu masih banyak kearif lain yang disampaikan Cak Nun. Maiyah adalah sebuah forum yang sudah berlangsung cukup lama, telah melalui proses dan perjalanan panjang.

Bukan hal yang mudah tentunya menjaga sebuah kontinuitas berjalannya forum diskusi yang sangat cair ini. Begitu cairnya Maiyah, bahkan Maiyah disebut sebagai sebuah laboratorium ilmu yang sangat unik. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here