Fenomena Ustadz Abdul Somad

1541

Oleh karenanya ijtimak ulama itu adalah “afirmasi” dari tradisi bangsa yang mendarah daging. Mempertanyakannya adalah bentuk gagal paham atau pura-pura tidak paham. Atau boleh jadi bagian dari upaya pengkhianatan ideologi bangsa yang memang solid dalam “berketuhanan”.

Lalu apa yang menjadikan saya kagum atau tepatnya “lebih kagum” dengan sikap UAS menolak menerima rekomendasi itu?

Pertama, sudah pasti ketidaksediaan beliau menjadi cawapres di pilpres tahun depan itu akan menimbulkan kekecewaan kepada sebagian. Saya kira ini sangat wajar. Karena ketika sesuatu dilihat dengan pandangan emosional, akhirnya akan melahirkan reaksi emosional pula. Tapi beliau membuktikan bahwa dalam melakukan sesuatu itu bukan mencari “senangnya” orang, bahkan yang mayoritas sekalipun. Tapi mana yang lebih “ashlah” (lebih baik dan sesuai) bagi kepentingan umum.

Kedua, keputusan politik di Indoenesia secara konstitusi adalah wewenang partai politik. Karenanya ijtima’ ulama dan tokoh nasional bukan sebuah keputusan tapi rekomendasi. Hal ini dipahami betul oleh beliau bahwa rekomendasi itu tidak mengikat, baik secara syar’i maupun konstitusi.

Ketiga, beliau sadar bahwa ijtihad politik itu sifatnya manusiawi. Dan kerap kali ijtihad politik itu dipengaruhi oleh imej politik yang terbangun. Dan parahnya pula imej politik ini tidak jarang pula didominasi oleh kepentingan-kepentingan sempit. Karena bersifat manusiawi, maka jtihad itu bisa benar tapi juga bisa keliru.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here