Diduga jadi Biang Virus Corona, Bagaimana Hukum Makan Kelelawar dalam Islam?

6888
Kelelawar (Foto: Newsroom)

Jakarta, Muslim Obsession – Virus Corona yang menyebar di kota Wuhan Cina diduga berasal dari kelelawar dan ular berjenis krait dan kobra. Virus dapat berpindah dari hewan ke manusia yang berada dalam satu area yang sama. Virus ini diduga bermula dari Pasar Wuhan yang terkenal menjual banyak sekali jenis hewan untuk dikonsumsi, salah satunya kelelawar.

Di beberapa daerah tertentu di Indonesia sendiri, satu-satunya hewan mamalia yang bisa terbang tersebut dipercaya kalau kelelawar jenis Musuk bisa menyembuhkan penyakit yang disebabkan penyempitan saluran pernapasan atau asma.

Lalu, bagaimana dalam pandangan Islam hukum memakan kelelawar tanpa alasan tertentu atau dengan sebab sebagai obat? Dikutip dari Halal MUI, Senin (27/1/2020) berikut penjelasannya:

Pertama harus dipahami sebagai kasus yang bersifat individual. Yang bersangkutan benar-benar telah berusaha mencari dan menggunakan obat yang memungkinkan, namun ternyata belum juga berhasil. Dan dikhawatirkan penyakitnya akan menjadi lebih parah, dan dengan menggunakan atau mengkonsumsi daging kelelawar sebagai obat, maka kondisi itu bisa disebut sebagai dharurat. Sesuai dengan kaidah Fiqhiyyah, “Adh-dhoruratu tubiihul-mahdzurot”.

Memang, di dalam Al-Quran tidak ada disebutkan larangan memakan daging kelelawar secara eksplisit. Kalaupun ada yang mengharamkan, maka sesuatu yang haram boleh dimakan atau dipergunakan sepanjang kondisi yang dharurat. Yaitu, memang tidak ada lagi obat yang halal, dan kalau tidak menggunakan bahan atau obat yang haram itu penyakitnya akan menjadi lebih parah, penyakitnya tidak akan bisa sembuh, atau bahkan berakibat menjadi mati. Tapi kalau masih ada obat atau alternatif, maka tidak ada rukhshoh, tidak pula ada toleransi.

Sedangkan Imam Syihabuddin asy-Syafi’i (w. 808 H) dalam kitabnya at-Tibyan li Maa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawan mengatakan bahwa kelelawar menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i adalah haram. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab 9/22 juga menegaskan haramnya kelelawar menurut mazhab Syafi’i.

Dalilnya adalah hadits bahwa Nabi saw melarang membunuh kelelawar (“nahaa rasulullah ‘an qatli al-khathaathiif”) (HR. Abu Dawud, dalam kitabnya al-Marasiil dari jalur ‘Ubad bin Ishaq dari ayahnya) (Lihat Imam asy-Syaukani, Nailul Authar).

Menurut Imam Syihabuddin asy-Syafi’i lagi, dalam kitabnya itu, bahwa dalam bahasa Arab, kelelawar (al-khuffaasy) mempunyai empat nama, yaitu: khuffaasykhusyaafkhuthaaf, dan wathwaath. Dengan demikian, hadits Nabi di atas berarti melarang kita membunuh kelelawar (Arab : khathaathiif, jama’ dari khuthaaf). Berdasarkan hadits tersebut, Imam Syihabuddin dengan menyatakan, ”Apa yang dilarang untuk dibunuh, berarti tidak boleh dimakan”. (“wa maa nuhiya ‘an qatlihi laa yu`kalu”).

Sedangkan jika digunakan untuk obat maka perlu dipahami bahwa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Termasuk dalam hal ini berobat dengan benda haram (kelelawar dan yang lainnya).

Mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda haram, ada ulama yang mengharamkannya, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Dosebutkan dalam hadits Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu”. (HR. Bukhari dan Baihaqi). Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda pula, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram”. (HR. Abu Dawud).

Namun ada pula pendapat yang membolehkan sementara, penggunaan obat dari bahan yang haram. Tapi kebolehan ini terbatas hanya dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Sebagaimana telah pula dijelaskan di atas.

Bagaimanapun juga, secara sederhana, kita patut mengingatkan dan menyarankan, agar mengkonsumsi atau menggunakan obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan berbuat yang menyerempet-nyerempet resiko bahaya, atau yang tidak jelas (dianggap meragukan status kehalalannya. Karena mengkonsumsi yang halal itu merupakan perintah agama yang harus/wajib diikuti.

Wallahu a’lam bish shawab…

(Vina)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here