Datuk

1237

Oleh: Dhimam Abror Djuraid (Wartawan Senior)

Soeharto, Lee Kuan Yew, dan Mahathir adalah Trio Macan Asia Tenggara. Ketiganya adalah jagoan-jagoan regional yang disegani di kawasannya. Pengaruhnya luas sampai jauh melebihi kawasannya. Pada masa merekalah Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengalami era keemasan ekonomi dan stabilitas sosial-politik yang mantap dan disegani oleh negara-negara internasional.

Mereka mulai muncul ke lanskap politik kurang lebih pada masa-masa yang sama yaitu pada awal dan pertengahan 1970-an. Mereka kemudian melakukan konsolidasi politik dengan cara yang kurang lebih sama yaitu melalui tangan besi. Trio itu terobsesi oleh stabilitas nasional dan menjadikannya sebagai prasyarat mutlak untuk membangun ekonomi. Ketiganya punya pendekatan yang berbeda. Soeharto memakai instrumen militer untuk melakukan konsolidasi politik. Mahathir dan Lee Kuan Yew memakai instrumen politik untuk melakukan konsolidasi.

Dalam proses itu, ketiganya tidak akan dikenang sebagai demokrat. Lee memberangus kebebasan sipil dan mengendalikan pers. Mahathir kurang lebih sama. Pun juga Soeharto. Para pendekar ini membuktikan kemampuannya dalam membangun negara. Pada masa-masa merekalah pada 1990-an pertumbuhan ekonomi konsisten di angka 7 persen dan menempatkan negara-negara ini sebagai mesin pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara dan menjadikannya bagian dari negara-negara industri baru (NIC).

Trio Macan berkuasa dalam masa yang panjang. Soeharto 32 tahun Mahathir 22 tahun, dan Lee 31 tahun. Mahathir mundur dengan memepersiapkan suksesornya. Lee mengundurkan diri pada 1990 dari jabatan formal tetapi tetap memegang kendali politik penting. Soeharto lupa mempersiaokan suksesornya sampai kemudian terpojok oleh kronisme yang menyebabkannya harus lengser karena demonstrasi yang luas pada Reformasi 1998.

Dalam hal membangun konsolidasi dan stabilitas politik sebagai pondasi pembangunan ekonomi Trio Macan sama-sama piawai. Tetapi, dalam hal mempersiapkan suksesor, Soeharto terbukti kalah pintar dibanding Lee dan Mahathir. Lee jelas-jelas mempersiapkan putranya Lee Hsin Long untuk menjadi penggantinya. Tetapi, Lee dengan cerdik meng-insert-kan Goh Chok Tong untuk memberi waktu kepada B.G Lee mematangkan diri. Sembari menunggu B.G Lee matang, Lee senior mengawasi dari dekat dengan memegang jabatan menteri senior.

Mahathir mempersiapkan suksesornya dengan hati-hati. Ia melihat Anwar Ibrahim yang cerdas sebagai suksesornya. Mahathir pun menjadi mentor Anwar untuk mempersiapkannya menjadi pemimpin Malaysia masa depan. Di tengah jalan keduanya pecah kongsi. Mahathir, tanpa keraguan sedikitpun, memecat dan bahkan memenjarakan Anwar. Dua orang ini beda kepribadian dan terlihat beda visi dalam mengelola negara. Mahathir seorang pragmatis dan Anwar lebih humanis.

Pada titik filosofis ini mereka tak bisa berkompromi, dan karena itu benturan pada tataran kebijakan tak bisa dihindari sehingga konflik tak terhindarkan. Kini, lima belas tahun kemudian, kepentingan politik pragmatis Mahathir membawanya berkongsi lagi dengan Anwar.

Soeharto, kita semua tahu, seorang jenderal jenius yang mengontrol kekuasaan sampai ke hal kecil yang paling detail. Tetapi, ia orang Jawa yang mudah terlena oleh nepotisme keluarga. Ketika anak-anaknya tumbuh dewasa, nepotisme semakin merajalela menggerogoti nadi kekuasaannya. Korupsi tak bisa diatasi, rezim pun membusuk dari dalam. Ditambah dengan kegagalannya menyiapkan sistem yang andal dan suksesor yang terpercaya, Soeharto akhirnya ambruk disapu gerakan reformasi dua puluh tahun yang lalu.

Lee dan Mahathir berkeringat dingin melihat gerakan reformasi Indonesia. Pasti ada kekuatan oposisi yang ingin mengimpor reformasi. Lee mungkin lebih tenang karena bibit oposisi sudah bisa diamankan di Singapura. Tangan besi Lee ditambah dengan keberhasilannya membangun ekonomi menjadi legitimasi yang sangat kuat untuk mengeliminasi gerakan oposisi.

Mahathir lebih rawan, karena sistem politik Westminster yang diadopsi dari gaya Inggris bisa mengancam kekuasaan Mahathir. Tapi, Mahathir terbukti jago dalam mengatasi oposisi. Ia tak pernah ragu memberangus oposisi termasuk memenjarakan orang dekatnya sekalipun.

Sekali lagi, Mahathir menunjukkan kepiawain politiknya. Pengaruh reformasi tidak sampai merembes ke Malaysia meskipun ada suara oposisi yang menghendaki reformasi versi Malaysia. Mahathir dengan jeli melihat bahwa krisis ekonomi–bukan gerakan reformasi– yang akan menjadi ancaman kekuasaannya.

Mahathir pun bertindak tangkas dan tegas. Ia menolak campur tangan IMF. Ia menolak resep ekonomi neo-lieralis yang dicekokkan Amerika melalui IMF dan Bank Dunia. Resep standar neo-liberal–privatisasi dan devaluasi mata uang–ditolaknya mentah-mentah. Mahathir Si Soekarno Kecil itu meng-echo-kan jargon Soekarno ‘’Go to Hell with Your Aids’’. Mahathir berhasil membawa negaranya melewati badai krisis ekonomi dan pelan-pelan Malaysia pulih dan bangkit dari puing-puing krisis.

Soehart0–kita tahu apa yang terjadi–persis 20 tahun yang lalu, menyerah di bawah tatapan angkuh Michel Camdessus yang melipat tangan di dada sambil menyaksikan Soeharto menandatangani pakta IMF tanpa syarat. Pakta yang ditolak mentah-mentah oleh Mahathir ditelan mentah-mentah juga oleh Soeharto. Alih-alih pulih, ekonomi Indonesia kolaps, bersama itu kekuasaan politik Soeharto kolaps juga.

Sekarang, 20 tahun setelah semuanya reda. Soeharto sudah berpulang. Lee Kuan Yew sudah beristirahat. Mahathir tinggal satu-satunya yang masih survive. Di usianya yang 93 tahun Si Datuk menangis di depan seorang gadis kecil.

“Kenapa Atuk menangis?’’ tanya si gadis kecil. “Atuk menangis karena Atuk sedih melihat masa depan Malaysia…Atuk ingin Malaysia kembali jaya,’’ kata Mahathir sambil meneteskan air mata dalam iklan politik menjelang pemilihan raya.

Fisiknya sudah renta tapi spiritnya masih membara. Ketika negeri yang dicintainya porak poranda oleh pengangguran dan investasi dari China yang mengancam kedaulatan ekonomi yang dibangunnya dengan darah dan air mata, ‘Atuk harus turun gunung lagi untuk kembali memimpin perlawanan menghadapi protege-nya sendiri. Mahathir membuktikan bahwa usia hanyalah angka, dan spirit perjuangannya hidup selamanya. (***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here