Catatan Kritis IKI untuk Wacana Pemulangan Eks ISIS

703

Jakarta, Muslim Obsession – Rencana pemulangan ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) mantan simpatisan ISIS di Timur Tengah masih menuai pro-kontra. Di tengah polemik itu, Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) memberikan catatan kritis dan mendalam tentang apa dan bagaimana kedudukan eks ISIS asal Indonesia secara hukum, dan apa yang mesti dilakukan.

Ketua IKI Saifullah Ma’shum menjelaskan, bahwa secara konstitusi negara mengamanatkan untuk wajib memberikan perlindungan maksimal kepada setiap warganya, baik yang berada di dalam maupun luar negeri.

Di dalam UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan, kata dia, Indonesia hanya mengenal dua kategori atau status warga negara seseorang, yaitu WNI dan orang asing. Ada dua macam orang asing, yaitu orang asing yang memiliki legalitas yang jelas, dan orang asing yang tidak memiliki legalitas sama sekali.

“Eks ISIS asal Indonesia telah kehilangan kewarganegaraannya akibat bergabung dengan kekuatan militer asing, dan bersumpah atau mengangkat janji setia terhadap kekuatan asing tersebut,” ujar Saiful, Rabu (12/2/2020).

Dengan begitu menurutnya, kewarganegaraan mereka saat ini adalah tidak berkewarganegaraan (stateless) atau orang asing. Status mereka tidak bisa disebut sebagai WNA, kecuali mereka secara hukum telah diakui sebagai warga negara di suatu negara di mana mereka tinggal.

“Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka dan Konvensi 1954 tentang Orang Takberkewarganegaraan,” tuturnya.

Meski bukan negara pihak kedua konvensi tersebut, Indonesia disebut memiliki pengalaman dalam menangani pengungsi internasional maupun internal seperti kasus 170.000 pengungsi Vietnam (1979), 250.000 pengungsi Timor Leste (1999) dan para pengungsi asal Timur Tengah hingga saat ini.

Langkah yang Harus Ditempuh

Ia mengakui, posisi eks ISIS asal Indonesia ini memang sangat rumit, karena telah kehilangan kewarganegaraan akibat melanggar UU Kewarganegaraan RI, sehingga sulit bagi pemerintah untuk mencarikan solusi walau bukan berarti tidak mungkin.

Salah satu jalan, kata dia, ialah menempuh cara pewarganegaraan atau naturalisasi agar menjadi WNI (kembali). Tapi pewarganegaraan hanya bisa dilakukan untuk orang asing yang memiliki legalitas jelas. Sementara orang-orang eks ISIS tersebut tidak memiliki legalitas yang jelas.

“Pemerintah memang harus sangat berhati-hati jika bermaksud menyelesaikan persoalan ini. Berbagai aspek harus dipertimbangkan karena di satu sisi pemerintah wajib melakukan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, sementara di sisi lain ada pertimbangan soal keamanan dalam negeri dan lain-lain,” paparnya.

Dengan rumitnya persoalan tersebut IKI membuat tiga catatan penting. Pertama, kasus yang dialami eks ISIS ini harus dijadikan momentum bagi Pemerintah untuk melakukan pengaturan secara komprehensif dan membuat kebijakan nasional untuk mengatasi terjadinya kasus-kasus seperti itu di kemudian hari.

Termasuk di antaranya ialah kemungkinan Indonesia meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka dan Konvensi 1954 tentang Orang yang Tidak Berkewarganegaraan, atau juga menerbitkan regulasi baru untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum menghadapi kasus seperti ini.

Kedua, Pemerintah harus berada pada posisi tegak sebagai kekuatan yang diberi tugas oleh Konstitusi untuk melindungi warga negara dan tumpah darah Indonesia.

Dalam konteks wacana pemulangan eks ISIS asal Indonesia, harus ada langkah-langkah yang mengarah pada penciptaan kepastian hukum bagi mereka, yang tidak sekadar serta merta menolak secara absolut usulan pemulangan atau menerima secara absolut.

Sebagai bentuk perlindungan secara maksimal kepada warga negara, Pemerintah perlu kerja keras melakukan identifikasi dan pengkajian secara mendalam posisi dan status kelompok eks ISIS untuk membedakan mana di antara mereka yang benar-benar menjadi pelaku kejahatan (terorisme) dan yang sekadar menjadi korban (terutama bagi mereka yang pada saat keberangkatan masih tergolong anak-anak).

Eks ISIS asal Indonesia yang berkategori menjadi korban dan kini stateless, memiliki hak sebagai warga negara yang harus mendapatkan perlindungan negara secara maksimal, melalui mekanisme dan proses hukum.

Ketiga, Pemerintah perlu menyiapkan perangkat hukum dan sosial bagi para korban yang telah bertobat dan ingin kembali ke Tanah Air. Ada beberapa eks teroris yang telah benar-benar bertobat dan kini membantu Negara dalam pemberantasan tindak terorisme melalui cara-cara yang memungkinkan bagi mereka.

Ali Imron dan Ali Manzi Fauzi sebagai salah satu contohnya. Ali Manzi, adik Ali Imron, telah mendirikan Lingkar Perdamaian, terus membantu kepolisian menguak jaringan terorisme dan menjadi juru kampanye Pemerintah menyadarkan masyarakat untuk tidak melakukan kesalahan serupa, sambil yang bersangkutan tetap menjalani hukuman yang telah dijatukan oleh pengadilan.

Pemberian status kewarganegaraan kepada mereka baru dilakukan setelah menjalani hukuman dan dinyatakan benar-benar bertobat. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here