Buya Saifuddin Amsir, Kiai Kharismatik yang Luas Keilmuannya

1392

Merawat Majlis Taklim

Di luar kesibukannya berkarya, Kiai Saifuddin Amsir masih tetap istiqamah menggawangi berbagai majlis ta’lim yang tersebar di seantero Jakarta. Praktis hari-harinya penuh jadwal pengajian di hampir 20 majlis ta’lim yang berada di berbagai pelosok Ibukota Republik Indonesia.

Abuya–demikian masyarakat Betawi menyapanya—merupakan sosok yang low profile. Tak jarang, santri yang senantiasa menyertainya merasa akrab bak teman sejawat. Namun, ketika sedang mengajar atau di atas mimbar, kharismanya sungguh terasa. Bak singa podium, Kiai Amsir mampu menarik perhatian publik. Tak jarang, ketika ia berpidato para hadirin berdecak kagum lantaran kemapuan retorika dan argumentasinya sangat logis dan enak dicerna.

Tak ayal, kemampuan panggungnya ini menarik para politisi untuk mendekati dirinya agar bersedia bergabung dengan partai tertentu. Namun, Kiai Amsir dengan halus menolak semua politisi yang melobinya untuk sekedar menjadi vote getter. Meski demikian, ketika PBNU membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa, Kiai Amsir pernah bergabung lantaran penghormatannya yang besar kepada Gus Dur.

 

Masa kecil

Saifuddin kecil, lahir di Jakarta pada 31 Januari 1955. Ia tumbuh dan besar di sebuah keluarga sederhana yang bersahaja. Ayahnya, Haji Amsir Naiman, adalah seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya: Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Hajjah Nur’ain, seorang ibu rumah tangga yang secara penuh ketulusan dan dedikasi tinggi mengabdikan dirinya untuk mengurus anak dan keluarga.

Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari sifat-sifat yang menjadi teladan bagi dirinya kelak di kemudian hari. Dengan keras sang ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri. Tidak ada kompromi bagi suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya. Bersama sembilan orang saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan shalat berjamaah dan mengaji al-Qur’an.

Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat sedari kecil. Menyadari dirinya bukan berasal dari keluarga ulama dan juga bukan dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya untuk berusaha mandiri dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia berusaha menutupi biaya kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu mendapat beasiswa dari sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak maupun berguru kepada para ulama terkemuka di masa mudanya, telah menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama Jakarta yang cukup populer dan disegani saat ini.

Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak. Ia juga senang membaca pelbagai macam buku bacaan sejak masih kecil. Sewaktu duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah, ia mulai banyak berguru kepada beberapa ulama di berbagai wilayah Jakarta.

Di antara ulama yang tercatat sebagai gurunya adalah KH Abdullah Syafi’i, KH Muhammad Syafi’i Hadzami Kebayoran Lama, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Kepada para guru tersebut, ia mempelajari pelbagai cabang ilmu keislaman. Pada saat menimba ilmu kepada Habib Abdullah, di antara kitab yang ia khatamkan di hadapan gurunya itu adalah kitab Minhaj al-Thalibin(karya Imam al-Nawawi) dan kitab Bughyat al-Mustarsyidin (karya Habib Abdurrahman Al-Masyhur).

Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, misalnya, ia tercatat sebagai lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan mendapat gelar sarjana muda di kampus KH Abdullah Syafi’i tersebut.

Pada medio 1982, ia mendaftarkan diri pada Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Jakarta-red) saat jurusan itu baru dibuka oleh Rektor IAIN Prof DR Harun Nasution, M.A. Karena berbagai prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melalui tes masuk. Setelah merampungkan masa kuliahnya, di waktu kelulusan lagi-lagi ia tercatat sebagai lulusan IAIN terbaik.

Kini, setelah tidak mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH Saifuddin Amsir masih terus menikmati belantara ilmu pengetahuan berbasis kitab kuning (al-kutub al-turats) karya para sarjana masa lalu. Dari aneka macam kitab tersebut kemudian diringkas dan di-tahqiq menjadi sebuah karya besar yang lebih membumi agar bermanfaat bagi sekitar. (Fath)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here