Bulan Gerimis

2146

Nandang masih saja memikirkan kesalahan yang memang disebabkan oleh dirinya. Kesalahan tidak mengabarkan kepulangannya jauh-jauh hari pada Siti. Ya, kepulangannya dikabarkan mendadak.

“Aku pulang, Ti…” pesan singkat Nandang ketika menunggu di Halte Untirta, sambil berharap Siti akan datang untuk melepasnya pergi.

“Duh maaf, nggak bisa nganter. Siti lagi ada di Baros, lagi ada pernikahan Kakak.”

Nandang mengikhlaskan perpisahan itu tanpa disaksikan Siti.

“Maaaaf, yuaaa…” kata Siti lagi lewat pesan singkat ketika Nandang sudah mendapat kursi di belakang bus Arimbi yang mulai bergerak menuju pelabuhan Merak.

***

Sudah satu bulan lebih Nandang lepas kontak dengan Siti. Tidak lagi sesering dan serajin dulu mereka saling berkirim kabar, yang hampir tiap sehari sekali. Tetapi, selama Nandang berada di tempat kosannya di dekat kampus Unila, mereka jarang sekali melepas rindu lewat telepon. Awalnya Nandang hanya ingin mencoba mengerti tentang kondisi Siti yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Sementara Nandang, di Unila sudah terlebih dulu diadakan UAS.

Nandang tahu itu dan tidak bermaksud membuyarkan konsentrasi belajar Siti. Namun terasa lama tak ada kabar dari Siti, Nandang merasa sulit untuk mengawali sebuah kata tanya atau sekadar basa-basi saja.

“Siti lagi agak sibuk nih… Biasa, persiapan UAS,” kata-kata itu yang mencoba dimengerti Nandang. Ya Nandang mengerti, Siti tidak mau diganggu dengan telpon, juga oleh bayang-bayang wajahnya. Adakah Siti berniat melupakan aku barang seminggu atau dua minggu? Begitu hati Nandang selalu penuh dengan kemungkinan-kemungkinan.

Sambil membaca buku yang didapatnya dari Siti, Nandang ternyata sudah lama menunggu telepon atau sms Siti. Buku yang ada di tangannya itu adalah karangan Siti.

Memang hanya buku antologi cerpen yang diterbitkan secara indie. Buku yang bersampul biru muda, terpampang nama Siti Rohmah dengan judul besar Bulan Gerimis.

Nandang selalu suka dengan kutipan puisi di awal cerpen Bulan Gerimis yang dibuat Siti:

 

kusebut namanya berulang kali

tapi selalu selesai saat perpisahan

ketika benar-benar sempurna

menikam jantung

nada

jadi simfoni yang tertinggal dalam kelebat bayangnya

di akhir februari itu

adakah gerimis mengekalkan cinta kita?

“Busyet! Nggak bosen loe, saban hari baca buku itu terus?” kata Bahri, teman baik Nandang, sambil meletakan segelas kopi di teras kosan. Bahri duduk di samping Nandang. “Udah, mending lupain Siti. Cari yang baru aja sih. Cari cewek yang deket-deket aja!” Bahri sambil menyeruput kopi hitamnya. “ngomong-ngomong, udah berapa ratus kali, buku tipis itu kamu baca?” sambung Bahri.

Nandang hanya melirik sohib baiknya itu, lalu secercah senyumnya mengembang. Nandang sedang tidak ingin mengomentari pertanyaan Bahri tadi.

Kamu nggak ngerti, kawan! Lewat buku ini aku tahu Siti ternyata amat merindukanku. Cerpen ini aku kenal betul peristiwanya. Akulah tokoh yang diceritakan Siti dalam cerpennya. Hanya saja Siti menggambarkan si tokoh laki-laki yang sedang dilanda rindu, bukan tokoh perempuan. Padahal aku sudah bisa menebak, kalau Siti yang merindukanku. Aku akan membca terus buku ini, sebab aku tahu, Siti sedang kangen padaku. Batin Nandang bergemuruh. (*)

(Selesai)


Ahmad Wayang, relawan Rumah Dunia dan anggota FLP Banten. Buku yang sudah terbit, Cinta Jangan Marah (2018), Siti dan Cerita Cinta Lainnya (2013).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here