Bolehkah Zakat Fitrah Diganti dengan Uang?

1401

Jakarta, Muslim Obsession – Mengakhiri bulan suci puasa, umat Islam diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Umumnya zakat fitrah ditunaikan dengan memberikan beras atau makanan pokok. Namun jika ada yang membayarnya dengan uang dengan nilai seharga makanan pokok tersebut apakah boleh?

Ustadz Isnan Ansory, Pengajar Rumah Fiqih Indonesia dalam Bukunya “I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ‘Ied dan Zakat Al-Fithr di Tengah Wabah” menjelaskan bahwa ada perbedaan pendapat para imam mengenai kewajiban membayar zakat fitrah dengan materi yang diberikan.

Mazhab pertama kata dia, mayoritas ulama, yakni Imam Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zhahiri berpendapat bahwa Zakat Fitrah itu harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yaitu dalam bantuk makanan pokok yang masih mentah. Apabila hanya diberikan dalam bentuk uang yang senilai, maka dalam pandangan mereka, zakat itu belum sah ditunaikan.

Bahkan kata dia, Imam Ahmad memandang bahwa hal itu menyalahi sunnah Nabi Saw. Suatu ketika pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang masalah ini, yaitu bolehkah Zakat Fitrah diganti dengan uang saja, maka Imam Ahmad menjawab:

“Aku khawatir zakatnya belum ditunaikan, lantaran menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Orang yang bertanya itu penasaran dan balik bertanya: “Orang-orang bilang bahwa Umar bin Abdul Aziz membolehkan bayar Zakat Fitrah dengan uang yang senilai,” ujar Ustadz Ansory membacakan cerita percakapan itu.

Imam Ahmad pun menjawab: “Apakah mereka meninggalkan perkataan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengambil perkataan si fulan?” Beliau pun membacakan Hadits Ibnu Umar tentang Zakat Fitrah.

Dari Abdullah bin Umar RA,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memfardhukan Zakat Fitrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar 1 shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Bukhari Muslim).

Setelah itu lanjut Ustadz Ansory beliau membacakan ayat Al-Qur’an: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya. (QS. AnNisa’: 59)

“Lagi pula dalam urusan mengganti nilai uang atas suatu harta itu tidak boleh ditentukan secara sepihak, melainkan harus dengan keridhaan kedua belah pihak, yaitu muzakki dan mustahiq,” tuturnya.

Ada pun mazhab kedua kata Ustadz Ansory membolehkan jika Zakat Fitrah harus dibayar dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Pendapat ini ada dalam Mazhab Imam Hanafi. Pendapat ini juga disandarkan pula kepada sebagian ulama salaf seperti Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Abu Ishak, dan Atha’. Abu Yusuf.

Ustadz Ansory menyebut salah satu ulama al-Hanafiyyah berkata: “Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin.”

Ketiga ada Plpendapat pertengahan. Ulama kontemporer, Syeikh Mahmud Syaltut dalam Kitab Fatawa-nya menyatakan: “Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya).”

Syaikh Yusuf al-Qaradawi mengasumsikan kenapa dahulu Nabi Saw membayar zakat dengan makanan, yaitu karena dua hal. Pertama, karena uang di masa itu agak kurang banyak beredar bila dibandingkan dengan makanan.

Maka membayar zakat langsung dalam bentuk makanan justru merupakan kemudahan. Sebaliknya, di masa itu membayar zakat dengan uang malah merepotkan.

Pihak muzakki malah direpotkan karena yang dia miliki justru makanan, kalau makanan itu harus diuangkan terlebih dahulu, berarti dia harus menjualnya di pasar. Pihak mustahiq pun juga direpotkan apabila dibayar dengan uang, karena uang itu tidak bisa langsung dimakan.

“Hal ini mengingatkan kita pada cerita dokter yang bertugas di pedalaman, di mana para pasien yang datang berobat lebih sering membayar bukan dengan uang melainkan dengan bahan makanan, seperti pisang, durian, beras atau ternak ayam yang mereka miliki. Apa boleh buat, makanan berlimpah tetapi uang kurang banyak beredar,” paparnya.

Kedua, karena nilai uang di masa Nabi tidak stabil, selalu berubah tiap pergantian zaman. Hal itu berbeda bila dibandingkan dengan nilai makanan, yang jauh lebih stabil meski zaman terus berganti. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here