Bolehkah Tak Menghadiri Undangan Pernikahan karena Tak Punya Uang?

6007

Kedua, lokasi undangan tidak melebihi tempat yang wajib didatangi untuk melaksanakan shalat Jumat. Ketiga, menstandarkan lokasi undangan berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat (‘urf). Kemungkinan ketiga ini menurut Ibnu Hajar al-Haitami merupakan pandangan yang paling mendekati kebenaran dan layak untuk dijadikan sebagai pijakan (aula bil-i’timad).

Dengan demikian wajib bagi seseorang datang memenuhi undangan pada jarak yang sekiranya penduduk setempat membiasakan hadir pada jarak tempuh tersebut. Namun kewajiban ini berlaku ketika memang seseorang tidak mengalami kesulitan dalam hal biaya untuk berangkat menuju tempat acara dan juga tidak mengalami kendala fisik yang berlebihan (masyaqqah fil badan). Berikut referensi yang menjelaskan tentang hal ini:

وبهذا اتجه أن الاحتمال الثاني أقرب وأولى بالاعتماد بل أقرب منه احتمال ثالث وهو تحكيم العرف المطرد عند كل قوم في ناحيتهم فإذا اعتاد أهل ناحية الدعاء من مسافة العدوى فأقل واطرد عرفهم بالإجابة من ذلك وأن ترك الإجابة يوجب كسرا وقطيعة للمدعو وجبت الإجابة من تلك المسافة على القوي الذي لا يترتب عليه من ذلك مشقة في بدنه ولا ماله وإن لم يعتادوا ذلك لم يجب بل لو اعتادوا عدم الدعاء من خارج البلد وإن سمع الخارجون النداء لم تجب الإجابة والله سبحانه وتعالى أعلم

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kedua (membatasi jarak kehadiran dengan standar tempat yang masih terdengar azan shalat Jumat) adalah lebih mendekati kebenaran dan lebih utama untuk dijadikan pegangan. Bahkan terdapat kemungkinan ketiga yang lebih mendekati kebenaran, yakni dengan menstandarkan pada ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang berlaku pada setiap kaum di daerahnya.

Jika penduduk suatu daerah membiasakan mengundang (para undangan) dengan jarak tempuh ‘adwa (perjalanan pulang pergi dapat ditempuh dalam waktu satu hari) atau lebih sedikit, dan kebiasaan mereka ketika diundang masih dalam lingkup jarak tersebut, maka mereka akan menghadirinya dan ketika tidak menghadiri akan berakibat pada sakit hati dan memutus keharmonisan hubungan pada orang yang diundang, maka dalam hal ini wajib untuk menghadiri undangan tersebut bagi orang yang mampu, sekiranya tidak berdampak pada kepayahan tubuh dan kesulitan finansial.

Jika hal di atas tidak dibiasakan, maka tidak wajib menghadiri undangan tersebut. Bahkan ketika tidak menghadiri undangan dari luar desa menjadi sebuah tradisi, maka tidak wajib menghadiri undangan tersebut, meskipun mereka masih mendengar suara adzan dari luar daerahnya” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 4, hal. 115)

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika yang dimaksud tidak memiliki uang adalah tidak memiliki uang untuk pemberian pada tuan rumah, maka hal tersebut tidak menggugurkan kewajiban menghadiri undangan walimah pernikahan. Sehingga, menghadiri walimah pernikahan dalam hal ini tetap diwajibkan, sebab memberikan pemberian (hibah) pada tuan rumah merupakan hal yang sunnah, dan ketidakmampuan melaksanakan perkara yang sunnah, tidak akan menggugurkan perkara yang wajib.

Sedangkan ketika maksud tidak memiliki uang diartikan pada tidak memiliki ongkos untuk menempuh perjalanan menuju lokasi walimah, maka dalam hal ini menghadiri walimah pernikahan menjadi tidak wajib. Dan dalam keadaan ini pula, tidak wajib baginya untuk berutang pada orang lain agar mampu membiayai ongkos untuk perjalanan walimah, sebab dalam fiqih dikenal ketentuan bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk mengupayakan terwujudnya keadaan yang membuatnya wajib melakukan suatu hal (tahsilu sabab al-wujub la yajib).

Wallahu a’lam bish shawab…

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here