Belajar kepada Syekh Hatim, Ulama Besar yang Pura-Pura Tuli Selama 15 Tahun

1498
Ilustrasi seorang ulama sufi.

Oleh: Drs. H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

As-Syekh Hatim Bin Ulwan Al-Asham, atau mempunyai nama asli As-Syekh Abu Abdurrahman Hatim bin Ulwan Al-Asham merupakan salah seorang ulama besar yang wafat di Baghdad, Irak, pada tahun 852 M atau 237 H.

Terdapat sebuah kisah penuh hikmah yang mendasari kata ‘al-asham’ (berarti tuli) yang menjadi julukannya, sebagaimana diriwayatkan Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq yang dikutip kitab Syarah Qami‘ut Thughyan As-Syekh Muhammad Bin Umar An-Nawawi Al-Bantani.

Sebenarnya Syekh Hatim tidak tuli. Hingga pada suatu hari, seorang wanita datang ke tempat beliau untuk menanyakan sesuatu. Tidak disangka-sangka, ketika melontarkan pertanyaannya di hadapan Syekh Hatim, belum selesai ia bertanya, wanita ini sudah keburu kentut dan dia tidak kuasa menahan kentutnya itu.

Bunyinya terdengar jelas, hingga membuat ia salah tingkah dan terdiam. Merah mukanya menahan malu, karena sedang berhadapan dengan ulama besar ini. Di tengah kegalauan wanita itu, tiba-tiba Syekh Hatim berkata kepada wanita itu dengan suara keras.

!!فقال حاتم:… ارفعي صوتك

“Ulangi suaramu lebih keras!!” kata Syekh Hatim.

(Lihat Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani, Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 22).

Namun, yang bertanya justru bingung. Dalam kebingungannya, ia kembali dikagetkan dengan suara keras Syekh Hatim.

“Hai,! keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yang kau bicarakan!!” teriak Syekh Hatim lagi.

Wanita tadi kemudian menduga bahwa Syekh Hatim bin Ulwan ini seorang yang tuli. Ia pun merasa sedikit lega, karena suara kentutnya tidak didengar beliau. Suasana kembali menjadi cair. Ia pun kembali mengulang pertanyaannya cuma agak dikeraskan suaranya

Sejak saat itu, Syekh Hatim bin Ulwan ini mendadak “menjadi tuli” dan bahkan ia melakukan hal tersebut selama wanita tadi masih hidup. Ya, demi menjaga perasaan dan kehormatan wanita itu, ia terus berpura-pura tuli selama 15 tahun.

Sejak saat itu Syekh Abu Abdurrahman Hatim bin Ulwan rahimahullah yang wafat pada tahun 237 H dijuluki Syekh Hatim bin Ulwan Al-Asham atau Syekh Hatim Al-Asham. Secara harfiah Al-Asham artinya yang tuli.

Semua ini dilakukannya dalam rangka menjaga kehormatan tamunya agar tidak kehilangan muka sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq yang dikutip oleh Syekh Muhammad Bin Umar An-Nawawi Al-Bantani sebagai bentuk bukti keimanan seorang Muslim.

Semangat menutup aib sesama Muslim dan penghormatan terhadap tetangga didasarkan pada sabda terkenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَه

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan juga hadist tentang memuliakan tamu berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya,” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Wallahu a‘lam bish Shawab.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here