Bagaimana Hukum Makan Beling dengan Ilmu Kanuragan?

793

Muslim Obsession – Bagaimana sebenarnya hukum makan beling, paku, dan sebagainya, dengan ilmu kanuragan itu bagi kita sebagai Muslim?

Pembahasan mengenai hal ini dapat mencakup aspek Maadiyah (material) dan Ghoiru Maadiyah (immaterial), serta Aqidah sekaligus juga Fiqhiyyah (Syari’ah).

Secara fisikal-material, sekaligus juga sebagai Fitrah Insaniyah, untuk kemaslahatan hidupnya, tubuh manusia memerlukan makanan yang sesuai dengan kodratnya. Berupa bahan makanan yang mengandung nutrisi, berasal dari sumber nabati maupun hewani.

Sedangkan materi atau benda-benda seperti beling dan paku itu, jelas bukan bahan makanan. Bahkan, dalam pengalaman yang sederhana, mulut tertusuk duri (ikan) yang halus saja, terasa sakit. Apalagi beling dan paku, tentu sangat berbahaya.

Dalam Kaidah Fiqhiyyah, yang bersumber dari Hadits Nabi saw., diriwayatkan dari Ibnu Abbâs, disebutkan larangan yang tegas: “Laa dharar wa laa dhiraar”. Artinya: “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad, Ibnu Mâjah, dan lainnya).

Di dalam Al-Qur’an juga tegas dilarang melakukan hal yang mencelakai diri sendiri: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah, 2:195).

Dari paparan berkenaan dengan pertanyaan tersebut, perlu digali, apakah tujuan dan maksud dari unjuk kemampuan makan beling, paku dan sebagainya. Itu sebagai bukti dari ilmu kanuragan atau ilmu kebal yang dimiliki. Kalau tujuannya untuk menunjukkan diri memiliki kemampuan yang hebat, maka dari sisi agama, hal itu disebut sikap ‘Ujub, yang dilarang dalam agama. Kalau tidak dihilangkan, niscaya bisa berlanjut menjadi sombong yang terlaknat dunia akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.

Perhatikanlah larangan Allah yang tegas: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman, 31:18).

Dalam Hadits Nabi saw. juga ditegaskan, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan (meski hanya) sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim no. 91)

Imam An-Nawawi berkata, “Hadist ini berisi larangan bersifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam). Menolak kebenaran, di antaranya menolak Aqidah Tauhidullah yang melarang meminta tolong kepada selain Allah. Seperti meminta bantuan kepada jin dan setan.

Pada dasarnya juga kita pahami, dengan logika sederhana, misalnya, golok bila mengenai tubuh manusia, niscaya akan terluka. Termasuk beling atau pecahan kaca yang disebutkan itu. Tetapi pada kondisi tertentu, mungkin saja terjadi orang dibacok, tapi tampak tidak mempan atau kebal. Jelas hal itu terjadi karena sihir yang dibantu oleh setan. Yakni bahwa orang yang tidak mempan dibacok itu, sejatinya memiliki kekuatan sihir dengan bantuan setan untuk menyihir mata manusia, sehingga tampak seperti yang terjadi itu.

Secara analogi, daya sihir anti bacok itu sama dengan para ahli sihir Firaun dalam menghadapi Nabi Musa. Dengan kekuatan sihirnya, membuat tali-tali yang mereka lemparkan tampak menjadi seperti ular yang merayap hendak menyerang Nabi Musa. Peristiwa luar biasa ini dipaparkan di dalam Al-Qur’an dengan makna: “Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyihir mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (QS. Al-A’raf, 7: 116).

“Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan”. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia (seperti ular yang) merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (QS. Thaha, 20:66).

Dalam sejarah da’wah dikisahkan, Shahabat Ali bin Abi Thalib adalah mantu Nabi saw., ahli ibadah yang terkemuka, dan dijamin masuk Surga ketika masih hidupnya, oleh Baginda Nabi saw. Dalam Hadits, diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Abu Bakar di surga, Umar di surga, Usman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.” (HR. At-Tirmidzi)

Namun beliau wafat karena pedang. Sebagaimana dikisahkan Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ali bin Abi Thalib saat mengemban amanah sebagai Khalifah, wafat dibunuh seorang Khawarij: Abdurrahman bin ‘Amr (terkenal dengan sebutan Ibn Muljam al-Muradi). Hal ini menunjukkan beliau tidak kebal terhadap senjata tajam (pedang) ketika diserang.

Bahkan, Imam Muslim meriwayatkan, dalam perang Uhud, Nabi Muhammad saw., terluka: gigi beliau patah dan wajah beliau berlumuran darah. Ketika itu, Beliau saw. bersabda: “Bagaimana mungkin satu kaum akan meraih kebahagiaan, sedang mereka melumuri wajah Nabi mereka dengan darah.”

Dalam Hadits Shahih Al-Bukhari No. 3767, Kitab Peperangan disebutkan, dari Abu Hazim bahwa dia mendengar Sahl bin Sa’d bertanya tentang luka Rasulullah Saw., dia berkata, “Demi Allah, sungguh aku telah mengetahui orang yang telah mengobati luka Rasulullah Saw., orang yang menuangkan air, dan dengan apa beliau diobati.” Dia melanjutkan, “(yaitu) Fatimah, putri Rasulullah Saw. yang telah mencuci (luka Beliau Saw.), sementara Ali bin Abu Thalib menuangkan air dengan menggunakan perisai, ketika Fatimah melihat darah semakin mengalir deras, dia pun langsung mengambil potongan tikar dan membakarnya, setelah itu dia menempelkan (bekas pembakaran tersebut) pada luka Beliau Saw. hingga darahnya terhenti, pada waktu itu gigi seri beliau tanggal, wajah beliau terluka dan topi baja beliau pecah.” (HR. Al-Bukhari).

Menurut para ulama, belajar dan mengamalkan sihir itu merupakan bagian dari perbuatan syirik yang dilarang dan tegas diharamkan dalam Islam. “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulallah saw. bersabda, jauhilah oleh kamu tujuh perkara yang membinasakan. Ditanyakan, wahai Rasulallah saw. apakah itu? ‘Beliau menjawab, ‘mempersekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang telah diharamkan (membunuhnya) kecuali dengan alas an yang dibenarkan oleh Allah, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran, menuduh wanita mukminah yang baik dan tahu memelihara diri.” (HR. Muslim).

Dalam prakteknya, sihir itu dilakukan dengan meminta perlindungan dan pertolongan kepada Jin dan Setan. “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan (pertolongan)kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin, 72:6). Padahal sebagai orang beriman, kita selalu berikrar dan berjanji minimal 17 kali dalam sholat fardhu, dengan membaca surat Al-Fatihah. Di antaranya ayat: Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Artinya: “Hanya kepada-Mu (yaa Allah) kami beribadah, dan hanya kepada-Mu jua kami meminta pertolongan.” Maka para ulama menyatakan, melakukan sihir itu merusak Aqidah Tauhidullah. Karena berarti membatalkan ikrar sekaligus melanggar perjanjian yang sakral, yang telah (selalu) diucapkan. Juga terjerumus ke dalam kemusyrikan, karena meminta pertolongan kepada Jin dan Setan, bukan kepada Allah.

Oleh karenanya, kita diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan sihir maupun para tukang sihir: “Dan (aku mohon berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS. Al-Falaq, 113: 4).

Sebagai Muslim, kalau diperlukan kemampuan atau alat untuk menghadapi musuh, tentu harus diperoleh dengan cara yang sejalan dengan tuntunan Islam. Seperti belajar ilmu bela diri, dan menggunakan alat yang sesuai. Misalnya, boleh menggunakan baju rompi anti peluru. Sebagai analogi, dalam sejarah perjuangan da’wah di masa Nabi saw., sebagai contoh, beberapa pasukan dari shahabat Nabi saw. ada yang memakai tameng atau baju besi saat berperang. Bahkan persiapan secara material untuk menghadapi musuh ini, dijelaskan juga di dalam Al-Qur’an: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh Islam) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal, 8:60).

Wallahu a’lam bi murodih.

Sumber: Halal MUI

 

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here