Aturan Pengeras Suara Masjid, MUI Sebut Instruksi Bimas Kemenag Diskriminatif

1286
Pengeras Suara (Foto: Islam Reformis)

Jakarta, Muslim Obsession – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Kementerian Agama (Kemenag) mengatur penggunaan pengeras suarat tempat ibadah untuk semua agama.

Kemenag hanya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid saja, melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag No. Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di masjid.

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan peraturan yang dibuat pemerintah seharusnya dapat menjamin terbangunnya kehidupan yang damai, rukun dan harmonis antar elemen masyarakat.

Kemenag juga harus membuat regulasi yang dapat diterima oleh semua pihak. Regulasi yang dimaksud tidak boleh diskriminatif, dan harus mengatur dan melindungi semua umat beragama.

“Instruksi Dirjen tersebut juga bersifat diskriminatif karena hanya mengatur rumah ibadah tertentu, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan di tengah masyarakat,” ujar Zainut melalui siaran pers, Senin (27/8/2018).

Zainut menilai kasus yang melibatkan Meiliana adalah pelajaran yang mesti diperhatikan pemerintah. Diketahui, Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume pengeras suara adzan di lingkunganya. Ia dinilai melanggar pasal penodaan agama.

Zainut menjelaskan bahwa Instruksi Dirjen Bimas Kemenag No. Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid juga cenderung lemah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Alasannya, karena tidak ada perintah atau delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terkait instruksi Dirjen Bimas tersebut.

Zainut mengatakan Instruksi Dirjen Bimas Islam itu juga sudah tidak relevan dengan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa setiap peraturan akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat jika ada peraturan yang lebih tinggi.

“Jadi menurut hemat saya, Kementerian Agama harus membuat peraturan perundangan yang lebih komprehensif,” ungkapnya.

Di sisi yang lain, Zainut juga berharap agar masyarakat dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kasus yang terjadi pada Ibu Meiliana. Menurutnya, dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu dengan lainnya.

“Sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat,” tukasnya. (Bal)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here