Ada Missing Link dalam Cerita G30S/PKI

986

Oleh: Hendrajit (Pengkaji Geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute)

Saya tidak tahu apa yang ada di benak almarhum Arifin C Noer ketika membuat film Pengkhianatan G30S/PKI. Namun sebagai orang yang gandrung pada sejarah, saya suka nonton film-film sejarah apalagi yang semi dokumenter seperti film karya Arifin ini, meskipun belum tentu saya setuju dengan versi kisahnya.

Karena dengan menyaksikan film tersebut, terutama kronologi dan psikologi para pelaku yang terlibat dalam cerita, baik yang pro Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) maupun yang kontra Gestapu, akan terlihat celah dan titik lemahnya.

Selain dari itu, Arifin C Noer yang putra asli Cirebon ini punya kemampuan simbolik maupun bahasa sanepo untuk mengekspresikan jalan pikirannya lewat gambar ketimbang secara verbal. Misal pada adegan awal, Bung Karno, dengan kaos oblong dan celana piyama, duduk terperkur di ruang kerjanya yang penuh koleksi buku, lalu membaca sebuah buku entah karangan siapa, berjudul Politics Has No Moral.

BACA JUGA: Ketika Kata Mampu Ubah Kelemahan Jadi Kekuatan

Adegan yang tak kalah menarik, pengumuman dari pihak pelaku gerakan lewat RRI mengenai komposisi Dewan Revolusi, yang sama sekali tidak menyebut Soekarno sebagai presiden, apalagi sebagai pemimpin besar revolusi. Adapun pengumuman berikutnya ketika RRI berhasil diserbu pasukan Kostrad.

Pangkostrad Soeharto menyatakan, selain gerakan Letkol Untung itu ilegal, juga menekankan Presiden Soekarno dalam keadaan selamat dan semua tetap setia pada Soekarno sebagai presiden dan pemimpin besar revolusi.

Kalau kita mencermati plot-plot adegan tadi, sepertinya ada missing link sejarah atau mata rantai yang terputus yang tidak terjelaskan dalam sejarah, bahwa antara rencana Gerakan 30 September dan pembentukan Dewan Revolusi, ada sesuatu yang tidak menyambung.

Apalagi dalam dokumen-dokumen sejarah yang berhasil disusun secara memikat oleh Viktor Fic dalam bukunya tentang analisis kudeta 1965, tersingkap adanya benturan pendapat yang cukup prinsipil dan perdebatan sengit antara Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo di rumah Susanto di Halim.

BACA JUGA: Demokrasi, Barang Abstrak di Indonesia

Letkol Untung yang punya jalur hubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit dan Syam Kamaruzaman berpendapat, bahwa Dewan Revolusi harus melikuidasi atau menyingkirkan Soekarno. Skenario seperti ini memang kemudian jadi sasaran tembak para pihak yang meyakini bahwa PKI merupakan aktor tunggal gerakan 30 September.

Adapun Brigjen Soepardjo, yang menariknya adalah perwira lulusan Fort Leavenport, Amerika, dan berasal dari kesatuan Kodam Siliwangi yang kita kenal sangat anti komunis, berpendapat bahwa pembentukan Dewan Revolusi haruslah melibatkan Soekarno tetap sebagai presiden dan pemimpin besar revolusi. Karena popularitas dan wibawa kepemimpinan nasional Soekarno tak ada duanya kala itu.

Dari konstruksi Dr Viktor Fic tersebut, meskipun tesis utama bukunya tetap dalam kerangka menyorot PKI sebagai pelaku tunggal, ada banyak informasi yang bisa jadi bahan-bahan untuk penelitian-penelitian lebih mendalam.

BACA JUGA: Menjadi Orang Bijak

Sebab dari rekonstruksi Viktor Fic terhadap dokumen-dokumen sejarah yang amat lengkap itu, ada sebuah pola menarik yang sudah terbangun sejak awal. Namun anehnya justru tidak menggugah para sejarawan mengkajinya lebih jauh.

Pertama, meskipun Viktor Fic maupun penulis lain cenderung meyakini dari awal ini adalah rancangan PKI, selalu merujuk pada perintah 4 Agustus 1965 terhadap Untung. Dan fakta ini jadi logis ketika menyimpulkan bahwa PKI adalah dalang tunggal. Karena ada hubungan jalur langsung antara Letkol Untung yang tergabung dalam Paspampres dan DN Aidit dan Syam Kamaruzaman dari Biro Khusus dan Politbiro PKI, lewat Waluyo sebagai perantara.

Missing link pertama dari fakta ini, siapa Waluyo yang merupakan mediator Untung yang bergerak di istana dan Aidit-Syam di biro khusus dan politbiro PKI? Karena sosok ini sama sekali tidak tertangkap radar pengawasan intelijen karena tidak berkiprah di jajaran struktural PKI.

Missing link kedua, kalau memang Untung dan Aidit-Syam memang ada jalur khusus, menjadi misterius ketika sontak melibatkan juga Brigjen Soepardjo ke dalam kancah operasi yang kelak meletus jadi G-30 September 1965.

BACA JUGA: Mengenal Afghanistan Pasca Kemenangan Taliban

Lebih aneh lagi, dan misteri ini juga berhasil secara non-verbal digambarkan Arifin dalam filmnya, bagaimana ceritanya seorang jenderal bintang satu dalam operasi dipimpin oleh seorang berpangkat letkol?

Dari sini saja sudah terlihat kekacauan mata rantai komando dalam rencana operasi, yang tak terbayangkan kebodohan semacam ini akan dilakukan oleh Lenin atau Mao dalam merancang skenario perebutan kekuasaan.

Dari sini saya dapat kesan, apa pun motivasi di balik Gerakan 30 September 1965, sama sekali tidak bersifat ideologis. Namun semata dipandu oleh nafsu kekuasaan dan didasari perhitungan politik yang penuh fantasi, sehingga tidak sesuai dengan kondisi objektif dan dinamika politik yang berlangsung saat itu.

Dualisme komando Untung dan Soepardjo inilah, menurut saya, fakta penting yang harus ditelisik lebih mendalam untuk menemukan motif dan otak sesungguhnya di balik Gerakan 30 September 1965.

BACA JUGA: Dahsyatnya Kekuatan Alam Bawah Sadar

Resep cespleng untuk menemukan dua hal itu, kita harus membaca berbagai ragam sumber yang saling bertentangan sekalipun, untuk menemukan kebenaran hakiki. Sayangnya, kalangan eksponen PKI yang bersimpati pada gerakan itu, selalu mengandalkan jargon bahwa Gestapu adalah konflik internal Angkatan Darat.

Padahal Cornell Paper yang disusun oleh Ben Anderson, Ruth McVay dan Frederick Bunnel, belakangan sudah merevisi tesisnya tersebut. Bahwa fakta-fakta yang yang berhasil ditemukan kemudian, ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar konflik internal Angkatan Darat.

Dalam konteks ini, para eksponen PKI justru mengkhianati diktum Karl Marx yang paling penting, yang justru orang-orang yang sama sekali bukan komunis seperti Soekarno dan Hatta maupun para founding fathers lainnya sering kali merujuk pada karya-karya Marx sebagai pisau analisis bedah sosial-ekonomi, yaitu mengamalkan diktum Marx tersebut: Carilah kebenaran dari fakta-faktanya, karena kebenaran ada dalam praktik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here