5 Penyakit yang Semula Pandemi Berubah Jadi Endemik

504

Jakarta, Muslim Obsession – Banyak ilmuan yang memprediksi bahwa pandemi Covid-19 akan berubah menjadi endemik pada 2022. Pandemi dan endemi adalah dua hal yang berbeda. Tapi keduanya bisa saja saling mendukung, punya keterkaitan.

Pandemi dan endemi dibedakan berdasarkan seberapa luar tingkat penyebaran penyakitnya. Pandemi terjadi ketika peningkatan infeksi mendadak dari suatu penyakit, yang telah menyebar di beberapa negara atau benua, serta menjangkiti banyak orang.

Sementara, endemi adalah kehadiran konstan atau prevalensi suatu penyakit atau infeksi yang biasa terjadi dalam suatu wilayah geografis. Beberapa pandemi akhirnya ditangani, tetapi bertahan di beberapa daerah. Inilah sebabnya mengapa pandemi bisa berubah menjadi penyakit endemik.

Berikut beberapa penyakit yang awalnya pandemi, kemudian berubah menjadi endemik:

1. Kematian Hitam (1346-1353)

Menurut para ilmuwan, wabah itu disebabkan oleh bakteri yang disebut Yersinia pestis, dan menjadi pandemi selama sekitar 4 tahun. Mengutip laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 13 Oktober 2017, wabah yang menyebabkan Black Death mudah diobati dengan antibiotik dan tindakan pencegahan standar untuk mencegah infeksi.

Wabah ini disebabkan oleh gigitan kutu yang terinfeksi. Basil pes, Yersinia pestis, masuk melalui gigitan dan menjalar melalui sistem limfatik ke kelenjar getah bening terdekat untuk mereplikasi dirinya sendiri.

Kelenjar getah bening kemudian meradang, tegang, nyeri, dan disebut ‘bubo’. Itulah mengapa penyakit ini juga disebut “Bubonic”. Pada stadium lanjut infeksi, kelenjar getah bening yang meradang dapat berubah menjadi luka terbuka berisi nanah.

Penularan wabah dari manusia ke manusia jarang terjadi. Wabah pasta dapat berkembang dan menyebar ke paru-paru, yang dapat menyebabkan pneumonia. Setelah ditangani, Black Death kemudian menjadi epidemi di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.

Sejak 1990-an, sebagian besar kasus pada manusia terjadi di Afrika. Tiga negara dengan endemik terparah adalah Republik Demokratik Kongo, Madagaskar, dan Peru.

2. Flu Spanyol (1918-1920)

Mengutip laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit ( CDC ) AS, pandemi flu Spanyol dimulai pada 1918, tak lama setelah Perang Dunia 1. Dalam dua tahun, penyakit itu menyebabkan lebih dari 50 juta kematian.

Penyebabnya adalah virus H1N1 dengan gen yang berasal dari unggas. Virus ini pertama kali terdeteksi di AS pada personel militer pada musim semi 1918.

Pertengahan tahun 2009, H1N1 kembali merebak. WHO pun kembali menetapkan penyebaran virus ini sebagai pandemi.
Setelah mereda, pada 10 Agustus 2010, WHO mengumumkan berakhirnya pandemi influenza H1N1.

2. Flu Asia (1957-1958)

Pada Februari 1957, virus influenza A (H2N2) terdeteksi di Asia Timur dan langsung memicu pandemi yang kemudian disebut Flu Asia. Virus H2N2 berasal dari virus flu burung A. Kasus pertama dilaporkan di Singapura pada Februari 1957, Hong Kong pada April 1957, dan di kota-kota pesisir di Amerika Serikat pada musim panas 1957.

Pandemi Flu Asia telah menewaskan sekitar 1,1 juta orang di seluruh dunia. Pada tahun 1961 terjadi peningkatan infeksi di Afrika Selatan yang kemungkinan disebabkan oleh unggas liar sebagai reservoir virus influenza A.

Untuk mengatasinya, para ilmuwan akhirnya mencoba beberapa pengobatan. Pada tahun 1966, FDA melisensikan amantadine, obat antivirus baru sebagai profilaksis (obat pencegahan) terhadap influenza A.

Pada tahun 1994, FDA menyetujui penggunaan Rimantadine yang berasal dari amantadine untuk mengobati influenza A.

3. Flu Hong Kong (1968)

Britannica mencatat, pandemi flu Hong Kong terdeteksi pada 1968, di China pada Juli 1968. Pandemi ini disebabkan oleh virus influenza A (H3N2), dan merupakan pandemi flu ketiga yang terjadi pada abad ke-20.

Infeksi virus H2N2 membunuh satu juta orang di seluruh dunia dan menjadi pandemi flu pada tahun 1968.

Virus tersebut diyakini masih terkait dengan pandemi Flu Asia 1957, yang mengalami proses yang disebut “antigenic shifting”.
Proses tersebut mengacu pada perubahan kecil pada gen virus flu yang dapat menyebabkan perubahan pada protein permukaan virus, HA (hemaglutinin) dan NA (neuraminidase), yang memicu respons imun tubuh.

4. Kolera (1817)

Melansir Britannica, pada tahun itu, wabah mematikan terjadi di Jessore, India, kemudian menyebar ke sebagian besar India, Burma (Myanmar), dan Ceylon (Sri Lanka).

Pada 1820, penyakit ini juga telah dilaporkan di Siam (Thailand), di Indonesia (di mana lebih dari 100.000 orang di Pulau Jawa meninggal), dan Filipina.

Virus menyebar ke Basra, seluruh Turki, dan mencapai ambang Eropa. Penyakit ini juga menyebar di sepanjang rute perdagangan dari Arab ke pantai timur Afrika dan Mediterania.

Selama beberapa tahun berikutnya, kolera menghilang dari sebagian besar dunia kecuali “pangkalannya” di sekitar Teluk Benggala.

WHO mencatat, kolera adalah infeksi diare akut yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi bakteri Vibrio cholerae.

Kolera tetap menjadi ancaman global bagi kesehatan masyarakat karena indikator ketidakadilan dan kurangnya pembangunan sosial.

Para peneliti memperkirakan bahwa setiap tahun ada sekitar 1,3 hingga 4,0 juta kasus, dan 21.000 hingga 143.000 kematian di seluruh dunia akibat kolera. Namun, kolera sekarang didefinisikan sebagai epidemi.

5. HIV/AIDS (1980-an-sekarang)

Pada awal 1980-an, sebelum HIV diidentifikasi sebagai penyebab AIDS, infeksi diperkirakan hanya menyerang kelompok tertentu.

Pada bulan November 1983, WHO mengadakan pertemuan pertamanya untuk menilai situasi AIDS global dan memulai pengawasan internasional.

Saat itulah komunitas kesehatan global memahami bahwa HIV juga dapat menyebar di antara orang-orang heteroseksual, melalui transfusi darah, dan bahwa ibu yang terinfeksi dapat menularkan HIV kepada bayinya.

WHO mencatat bahwa lebih dari 70 juta orang telah terinfeksi HIV, dan sekitar 35 juta orang telah meninggal.

Sementara itu, sekitar 37 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV, 22 juta di antaranya sedang dalam pengobatan.

Melalui konferensi pers WHO, Rabu (24/2/2021), dr. Ryan menyebut HIV sebagai salah satu jenis virus endemik.

Selama beberapa dekade, tidak ada obat untuk penyakit ini yang diketahui. Namun, perawatan yang dikembangkan pada 1990-an hingga saat ini memungkinkan orang dengan penyakit ini menjalani kehidupan normal melalui perawatan rutin. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here