Forjim Bongkar Penyesatan Opini Kaum Liberal tentang Konflik Rohingya

1924

Akar Masalah: Stateless

Puncaknya terjadi pada 1982 ketika UU Kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan enam etnis lainnya dari daftar delapan etnis utama dan 135 kelompok etnis kecil lainnya.

Dalam UU itu dinyatakan, seseorang atau kelompok etnis hanya diakui sebagai warga asli Myanmar dan berhak atas status kewarganegaraan hanya jika dapat membuktikan mereka punya nenek moyang yang tinggal dan hidup di wilayah Myamar sejak tahun 1823. Status etnis Rohingya kemudian diturunkan menjadi hanya temporary residents yang menyandang temporary registration cards (Benedict Rogers, 2012).

Produk hukum itu dihasilkan di masa junta militer masih sangat berkuasa. Jauh sebelum UU itu dibuat dan disahkan, Pemerintah Myanmar juga berkali-kali mengeluarkan kebijakan keras terhadap warga Rohingya yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan mengusir mereka keluar dari Myanmar.

Rohingya
Para pengungsi etnis Muslim Rohingya di pengungsian. (istimewa)

Sikap pemerintah yang tidak bersedia memasukkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar tersebut diyakini menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya. Karena keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan.

Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki paspor.

Dengan status seperti itu, anak-anak Rohingya kehilangan hak dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR mengategorikan Rohingnya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia.

Semua itu menunjukkan, konflik yang melibatkan warga etnis Rohingya bukanlah konflik sektarian antaretnis ataupun antar-pemeluk agama tertentu, melainkan kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara.

Terakhir, Pemerintah Myanmar menarik “kartu putih” yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih milik orang-orang Rohingya dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015.

Kartu putih adalah kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, tetapi tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.

Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya juga kehilangan hak untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu.

Pembatalan dari Presiden Thein Sein ini menutup kesempatan orang Rohingya untuk berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.

Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards).

Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here