Suatu Malam dengan Pedagang Sate Ayam

1615
sate
Pedagang sate.

Muslim Obsession – Malam itu, di tengah hujan yang mengguyur deras, terdengarlah suara teriakan dari luar rumah. Sateee… Saya yang mendengarnya dari dalam rumah tertegun sejenak. Oh, siapa yang berjualan malam-malam dan hujan begini? Kasihan, kata saya dalam hati. Saya menyuruh anak saya untuk memanggil pedagang sate itu.

Ternyata dia seorang ibu berjilbab yang berdagang sate keliling. Dia berjalan kaki menjajakan sate ayam. Sebuah payung besar yang sudah kusam di tangan kanan melindungi dirinya dari hujan. Saya minta dia menepi di depan rumah saya, di bawah balkon yang tidak terkena hujan.

Saya memesan sepuluh tusuk sate ayam yang harganya delapan belas ribu rupiah. Saya dan anak saya memperhatikannya membakar sate dan menyiapkan bumbu. Sambil menunggu sate matang, saya tidak tahan untuk tidak mengobrol dengan ibu itu sembari menggali kehidupannya. Rasa ingin tahu saya muncul.  Menurut saya ini cukup unik, yakni ada seorang perempuan di tengah malam berkeliling jualan sate, berjalan kaki lagi.  Apa dia tidak khawatir dengan keselamatannya.

Lalu, terjadilah dialog di bawah ini (keterangan: + saya, – ibu pedagang sate).

+ Tinggal di mana, Mbak?

– Antapani Lama, Mas

+ Dari mana asalnya?

– Dari Kedu, Blora, Mas

+ Di sini tinggal sama siapa?

– Sama suami saya. Dia juga jualan sate keliling, tapi ke Arcamanik pakai sepeda.

(Ooo, jadi keduanya berjualan sate)

+ Trus, anaknya sama siapa?

– Anaknya nggak mau ikut ke Bandung, maunya mondok (pesantren) di Tuban. Masih SMP. Senangnya mondok daripada ikut ke sini. Ya udah kalau senangnya begitu.

+ Berapa orang anaknya, Mbak?

– Cuma satu

+ Udah lama di Bandung?

– Udah 18 tahun. Kalau jualan sate ini ya 10 tahun.

(Hmmm..tipikal perempuan Jawa yang gigih dan ulet mencari nafkah membantu suami)

+ Keluar rumah untuk jualan jam berapa,Mmbak?

– Nggak tentu, kadang jam 4 atau jam 5 (sore).

+ Pulangnya jam berapa?

– Jam 9 (malam)

(Wah, berani sekali, perempuan malam-malam keliling berjualan sate dengan berjalan kaki. Salut saya. Resikonya besar. Diganggu laki-laki, dibegal, dsb. Mungkin rasa takutnya dikalahkan oleh semangat mencari nafkah membantu suaminya dan untuk biaya anaknya mondok)

+ Sering pulang ke Jawa, Mbak?

– Satu semester sekali. Kalau mau bulan puasa saya pulang sampai lebaran.

+ Di Antapani Lama banyak orang Jawa ya?

( Antapani Lama itu sebuah kawasan di Antapani yang padat dan banyak gang sempit. Di sana banyak bermukim pendatang dari Jawa yang bekerja di sektor informal, pedagang jamu, bakso, dan lain-lain. Mereka  mengontrak rumah atau kamar dari warga lokal/Sunda. )

– Iya, Mas. Kami punya arisan satu bulan sekali, anggotanya orang Jawa semua. Senang kalau kumpul2 sesama orang Jawa, mengobati rasa kangen ke kampung.

Sate pun selesai dibakar. Sepiring sate ayam dan dua puluh ribu rupiah pun berpindah tangan. Lumayan enak satenya.

Selesai makan sate saya masih teringat dialog percakapan tadi. Hmmm…dia dan suaminya meninggalkan anaknya mondok di pesantren di Jawa, sementara mereka berdua berjuang mencari nafkah di Tanah Sunda untuk membiayai anak satu-satunya itu. Semoga saja anaknya nanti menjadi ulama, amin. Semoga rezekinya lancar dan selalu diberi keselamatan dalam mencari nafkah. (Rinaldi Munir, Dosen Teknik Informatika ITB)

 

Sumber: rinaldimunir.wordpress.com

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here