Muslim Obsession – Para Salafus Shalih terdahulu memiliki keistimewaan dalam membagi waktu belajar. Contohnya, adalah Imam Malik. Ia tidak pernah tertidur saat belajar.
Ibnu Qasim, seorang ulama fiqh Mesir yang wafat tahun 191 Hijriah mengisahkan, “Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Aku tanyakan tiga masalah, empat masalah. Aku melihatnya benar-benar dalam suasana lapang,”
Kemudian, Ibnu Qasim mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang karena lelah, Ibnu Qasim sampai tertidur. Ketika Imam Malik keluar menuju masjid, beliau tidak mengetahuinya. Sampai dibangunkan oleh pembantunya seraya berkata, “Gurumu tidak tertidur sepertimu. Padahal saat ini usianya telah mencapai 49 tahun.”
Ibnu Qasim kemudian berkata, “Setahuku, ia nyaris tidak shalat kecuali dengan wudhu untuk shalat Isya.”
Sedangkan Imam Syafi’i, membagi waktu malamnya menjadi tiga. Yakni, sepertiga pertama untuk menulis ilmu, sepertiga kedua untuk shalat malam dan sepertiga ketiga untuk tidur.
Sama persis dengan apa yang dilakukan Abu Hurairah. Bedanya, yang dibagi adalah orangnya, semacam jaga malam secara bergantian.
Mula-mula, ia berjaga sambil shalat sepertiga malam. Kemudian, dilanjutkan istrinya sepertiga malam. Sepertiganya lagi, dimanfaatkan oleh putrinya.
Dengan demikian, tiada satu pun yang berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, selain ibadah, dzikir dan shalat.
Adapun ulama salaf memberikan kiat memanfaatkan waktu untuk aktifitas belajar sebagai berikut:
“Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur atau sebelum fajar. Waktu untuk meneliti adalah pagi. Untuk menulis, di tengah hari. Sedangkan untuk menelaah dan mengulang, di waktu malam.”
Diceritakan oleh Khatib Al-Bagdhdadi, bahwa selama 40 tahun dari penguhujung usianya, Ibnu Jarir mampu menulis 40 halaman setiap hari.
Yang istimewa dari prestasi Ibnu Jarir, meskipun ia menulis artikelnya selepas Dzuhur hingga Ashar, tetapi muraja’ah ilmu serta ide yang dituangkan dalam tulisan, ia dapatkan di awal subuh setelah shalat malam. (Vina)
