Kesungguhan Ulama Belajar Ilmu Agama (2)

1950

Muslim Obsession – Kemiskinan tidak menjadi penghalang belajar. Sedikitnya bekal, tidak menghalangi perjalanan. Hal itu pula yang terjadi pada Sufyan Ats-Tsaury (ulama generasi tabi’ tabi’in).

Sufyan Ats-Tsaury
Ia menjadi tokoh bangsa Arab. Seorang fakih dan ahli hadits. Digelari dengan amirul mukmin fil hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam masalah hadits).
Hal ini tentu menggambarkan betapa tinggi kedudukannya. Sufyan berkisah, “Saat aku mulai belajar, aku mengadu (kepada Allah), ‘Ya Rabb, aku harus memiliki penghasilan. Sementara ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah aku bekerja mencari penghasilan saja? Aku memohon kepada Allah kecukupan’.

Sufyan Ats-Taury adalah seorang yang miskin dan menurutnya belajar butuh modal. Fokus belajar, membuatnya tidak punya harta untuk belajar. Tapi jika belajar sambil bekerja, ilmu yang didapatkan hanya setengah-setengah, tidak optimal.Kemudian Allah memberikan jalan keluar dan mengabulkan doanya. Berkat doa tulus untuk mempelajari agama-Nya, sang ibu berjanji menanggung keperluannya belajar.
“Wahai anakku, belajarlah! Aku yang akan mencukupkanmu dari hasil usaha tenunanku ini,” tutur sang ibu (Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya. 6/370).Dengan usaha menenun, ibunya membelikan buku dan mencukupi kebutuhannya dalam belajar. Tidak hanya mendanai Sufyan, ibunya juga selalu memberi semangat dan menasehatinya agar terus giat memperoleh ilmu.

Ibunya mengatakan, “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, perhatikan apakah ada pada dirimu perasaan semakin takut (kepada Allah), semakin lembut dan semakin tenang. Jika engkau tidak merasakannya, ketahuilah apa yang kau pelajari memudharatkanmu. Tidak bermanfaat untukmu.” (Ibnul Jauzi dalam Sifatu Shafwah, 3/189).

Jabir bin Abdillah

Jabir bin Abdillah adalah seorang sahabat Rasulullah yang memiliki semangat luar biasa dalam mempelajari agama. Ia dan ulama-ulama lainnya tidak mencukupkan diri belajar di negerinya sendiri. Mereka melakukan safar, melangkahi jalan-jalan, menghilangkan ketidaktahuan.

Jabir bin Abdillah melakukan perjalanan sebulan menuju Abdullah bin Unais, hanya untuk satu hadits. Jabir bercerita, “Aku mendengar ada satu hadits yang diriwayatkan oleh seorang dari sahabat Rasulullah. Lalu, aku membeli seekor unta dan kuikatkan bekalku untuk sebulan pada unta itu.

Tibalah aku di Syam, ternyata sahabat tersebut adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintunya, ‘Katakan kepadanya, Jabir sedang di pintu’. Dia bertanya, ‘Jabir bin Abdillah?’ Aku menjawab, ‘Ya’.

Lalu Abdullah bin Unais keluar dan dia merangkulku, aku berkata, ‘Sebuah hadits, aku mendengarnya ada padamu, kamu mendengarnya dari Rasulullah, aku khawatir mati atau kamu telah mati sementara aku belum mendengarnya. Lalu ia menyebutkan hadits tersebut…” (Riwayat Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 970, Ahmad 16085, dan Al-Hakim 3638).

Setelah mendengar hadits tersebut, Jabir langsung pulang, kembali ke Madinah. Tidak ada motivasi lain bagi dirinya, berangkat menuju Syam kecuali untuk satu hadits tersebut.

Abu Ayyub Al-Anshari

Abu Ayyub Al-Anshari pernah melakukan perjalanan dari Madinah ke Mesir, untuk menemui Uqbah bin Amir al-Juhni. Ia ingin meriwayatkan satu hadits darinya. Sesampainya di Mesir, ia bertemu Uqbah dan mendengar haditsnya. Setelah itu, ia langsung kembali ke Madinah (Riwayat Ahmad 17490, Abdurrazzaq 18936, Ibnu Abi Syaibah 13729).

Asad bin Furat

Asad bin Furat adalah seorang ahli fikih madzhab maliki. Ialah yang membukukan madzhab Imam Malik. Asad adalah hakim di Qairawan. Ia juga seorang mujahid. Turut serta membebaskan wilayah Sicilia di Itali pada tahun 213 H. Asad bercerita tentang perjalanannya belajar agama.

Ia pergi ke Madinah, belajar kepada Imam Malik. Lalu menuju Irak dan belajar dari murid-muridnya Imam Abu Hanifah. Di Irak pula ia belajar kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Ribuan orang hadir di majelis Muhammad bin Hasan, sulit bagi Asad untuk bertanya sesuatu yang ia inginkan.

Akhirnya ia bisa menyampaikan uneg-unegnya kepada Muhammad bin Hasan. “Aku adalah orang asing (bukan orang Irak) yang sedikit bekalnya. Mendengar ucapanmu (di majelis) sangat sulit karena padatnya jamaah. Selain itu, orang-orang yang belajar denganmu banyak. Adakah solusi untukku?”

Muhammad bin Hasan menjawab, “Dengarkanlah bersama orang-orang Irak di siang hari. Malam harinya kukhususkan untukmu saja. Menginaplah di tempatku. Aku akan memperdengarkanmu (ilmu).”

Asad bin Furat mengatakan, “Aku pun menginap di rumahnya. Kuletakkan di hadapanku suatu wadah yang berisi air. Mulailah aku belajar. Apabila malam larut dan aku merasakan kantuk, kubasahi tanganku dan kuusapkan di wajahku. Maka, aku pun segar kembali. Itulah caranya dan caraku. Sampai akhirnya aku merasa puas mendengarkan ilmu darinya.”

Perhatikanlah kesungguhan dua ulama ini. Bagaimana Muhammad bin Hasan meluangkan waktunya siang dan malam untuk mengajar. Lalu, ia khususkan malamnya untuk Asad bin Furat. Mengapa? Karena ia tahu, melalui Asad ilmu yang ia miliki akan tersebar ke negeri yang tidak mampu ia jangkau.

Lihat pula kesungguhan Asad bin Furat, ia tidak merasa cukup belajar dari ulama sekelas Imam Malik. Padahal apa yang dia dapat dari Imam Malik sangat banyak. Ia tetap merasa haus dan lapar akan ilmu agama. Sehingga senantiasa mempelajarinya selama masih bernyawa.

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan sanadyang shahihmursal dari Thawus bin Kaisan, ia berkata, “Rasulullah pernah ditanya, ‘Wahai Rasulllah, siapa orang yang paling berilmu?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang mengumpulkan ilmu. Setiap pelajar ilmu agama adalah ghartsanu (orang yang lapar, tidak merasa cukup) terhadap ilmu.” (HR. Ad-Darimi, Husain Silmi seorang muhaqqiq Sunan Ad-Darimi berkata, “Sanadnya shahih”.).

Imam Al-Bukhari

Al-Bukhari terbangun dalam satu malam. Kemudian ia menghidupkan lenteranya dan menulis pelajaran. Kemudian, ia padamkan lenteranya lalu terbangun lagi, lagi dan lagi. Hingga hampir 20 kali (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 11/25).

Imam An-Nawawi

Imam An-Nawawi bercerita tentang dirinya, “Pernah selama dua tahun aku tidak pernah membaringkan pungguku di bumi (lantai). Apabila rasa kantuk menghampiriku, aku tersandar pada buku-buku sesaat. Kemudian bangun kembali.” (Ibnu Qadhi Syubhah dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyah).

Fakhruddin Muhammad As-Sa’ati

Fakhruddin Muhammad adalah seorang ilmuan kedokteran dalam sejarah Islam. Ia menceritakan bagaimana ia mempelajari ilmu kedokteran dengan mengatakan, “Kaumku hasad kepadaku atas apa yang telah kuperbuat. Karena antara aku dan mereka adalah tempat tidur. Aku bergadang di malam hari. Sementara mereka terkantuk-kantuk. Tentu tidak sama antara orang yang belajar dan yang mengantuk.” (Ibnu Abi Ushaibi’ah dalam Uyunul Anba fi Thabaqat Al-Atibba, 4/162).

Imam Ahmad

Imam Ahmad bercerita tentang masa kecilnya, “Aku berangkat pagi-pagi untuk hadits”, yakni beliau keluar dari rumahnya di saat pagi untuk mencari tempat duduk yang nyaman untuknya saat belajar hadits. “Ibuku menyimpan pakaianku hingga saat adzan subuh (berkumandang).” (Adz-Dzahabi dalam Siyar Alamin Nubala).

Imam Ahmad di masa kecilnya telah menyiapkan diri untuk belajar hadits sebelum datangnya waktu subuh. Tapi ibunya takut kalau anaknya keluar sebelum waktu subuh tiba. Karenanya, bajunya baru ia berikan setelah adzan subuh berkumandang.

Wallahu A’lam bis Shawab (Vina– Dinukil dari Islam History)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here