KBRI Riyadh Berhasil Selamatkan Dua WNI dari Hukuman Mati

1188
Sumiyati binti Muhammad Amin dan Masani binti Syamsuddin Umar (Foto: Kemlu)

Riyadh, Muslim Obsession – Dua WNI asal Sumbawa NTB, Sumiyati binti Muhammad Amin dan Masani binti Syamsuddin Umar lolos dari hukuman mati setelah Pengadilan Banding menolak tuntutan qisas terhadap keduanya.

Keduanya dengan suara terbata-bata mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah menugaskan seorang Duta Besar dan para Diplomat KBRI Riyadh yang sangat menaruh perhatian besar terhadap nasib para WNI yang sedang terdera kasus hukum di Saudi Arabia.

Sumiyati dan Masani menyampaikan ucapan apresiasi tersebut di acara Buka Bersama dan sekaligus pamitan perpisahan dengan KBRI Riyadh dan 300 WNI Ekspatriat Indonesia yang hadir di Aula KBRI Riyadh, (1/6/2018).

Kasus hukumnya bermula dari keduanya ditangkap aparat kepolisian Saudi pada tanggal 27/12/2014 atas tuduhan bersekongkol melakukan sihir/santet sehingga anak majikan menderita sakit permanen, dan tuduhan bersekongkol membunuh ibu majikan, Hidayah binti Hadijan Mudfa Al-Otaibi dengan cara menyuntikan zat lain dicampur dengan insulin ke tubuh ibu majikan yang menderita diabetes dan mengakibatkan korban meninggal dunia.

KBRI Riyadh melakukan pendampingan intensif bagi kedua WNI dalam menjalani proses hukum di persidangan dan secara rutin melakukan kunjungan penjara untuk membekali keduanya dalam menghadapi proses pemeriksaan persidangan.

Pada sidang ke-10 tanggal 20/2/2016, Pengadilan Pidana kota Dawadmi memutuskan perkara kasus sihir dengan menjatuhkan hukuman ta’zir (dera), masing-masing dihukum penjara di Kota Dawadmi selama 1,5 tahun untuk Sumiyati dan 1 tahun untuk Masani. Putusan tersebut didasarkan bukti pengakuan kedua WNI saat di penyidikan yang dilegalisasi pengadilan.

Pada persidangan tanggal 10/8/2017, Pengadilan memutuskan untuk menolak tuntutan qisas terhadap kedua WNI dengan alasan karena salah seorang ahli waris, Sinhaj Al-Otaibi  di depan persidangan menegaskan bahwa ia mencabut hak tuntutan qisas terhadap kedua WNI tanpa menuntut kompensasi apapun.

Dubes Maftuh Abegebriel yang juga dosen Hadist Hukum di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan bahwa sebuah tuntutan qisas harus dilakukan secara konsensus di antara para ahli waris korban dan tidak boleh ada dissenting opinion dan apabila ada salah satu anggota keluarga mencabut maka tuntutan tersebut menjadi gugur. Itu ada ketentuan yang sangat dikenal dalam “At-Tasyri’ Al-Jina’iy” atau hukum pidana Islam.

Atas putusan tersebut, keluarga lain yang dimotori oleh Fahad Al-Otaibi bersikukuh mengajukan banding. Namun Pengadilan Banding pada akhir tahun 2017 menguatkan putusan Pengadilan Pidana Dawadmi yang menolak tuntutan qisas terhadap kedua WNI yang masih bersaudara ini.

Berangkat dari putusan yang berkekuatan hukum tetap, KBRI melanjutkan proses pencabutan tindakan pencegahan kedua WNI keluar dari Arab dan pengajuan proses exit permit dari kantor imigrasi.

Maftuh juga menjelaskan bahwa kepulangan dua WNI ini akan didampingi langsung oleh Atase Hukum KBRI Riyadh, Muhibuddin Thaib, seorang jaksa karir dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung yang pernah bertugas di KPK.

“Atkum ini adalah seorang diplomat santri asal Aceh yang sangat memahami hukum pidana Islam (tasyri’ jina’iy). Sehingga proses pendampingan WNI yang sedang terdera masalah hukum di Saudi bisa tertangani secara komprehensif,” kata Maftuh, seperti dilansir situs resmi Kemlu, Senin (4/6/2018).

Dan disamping pendampingan hukum, ada yang sangat penting untuk dilakukan yaitu melakukan diplomasi antropologis dengan pendekatan terhadap tokoh-tokoh kabilah/suku. Untuk mencari solusi seperti yang sudah dilakukan oleh KBRI Riyadh dengan melakukan lobi-lobi tengah malam di kawasan pedalaman Saudi.

“Bahkan dengan melakukan pertemuan-pertemuan informal di tengah-tengah peternakan kambing,” tegas Dubes yang juga peneliti terorisme tersebut.

Berkaca dari kasus hukum kedua WNI tersebut, penanganan permasalah hukum WNI khususnya kasus hukuman mati akan sangat efektif, apabila sejak awal proses penyidikan kasusnya dapat dilacak. Karena itu dibutuhkan sikap proaktif para Garda Depan Diplomasi.

“Ke depan perlu adanya penguatan para diplomat ahli hukum pidana Islam untuk pendampingan masalah-masalah hukum yang banyak menimpa ekspatriat Indonesia di Arab Saudi ini,” tandasnya. (Vina)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here